Tingkat akselerasi pemekaran daerah sejak tahun 2000 sampai 2007 dapat diibaratkan sama dengan tingkat percepatan berkembang biaknya bakteri amuba. Hanya bedanya, bakteri amuba bereproduksi untuk melestarikan eksistensi mereka. Sementara pemekaran daerah justru dapat mengancam kelangsungan keberadaan daerah pemekaran baru atau daerah induknya sendiri.
Penyebabnya, amuba berkembang biak secara tertib mengikuti hukum alam, sedangkan pemekaran daerah dilakukan dengan rekayasa para elite politik dan sering kali sarat dengan tarik-menarik kepentingan pribadi dan golongan.
Oleh sebab itu, para pemrakarsa dan pengambil kebijakan pemekaran daerah mungkin harus mencontoh cara bakteri amuba berkembang biak bila pemekaran ingin menjadi upaya peningkatan kehidupan masyarakat, yaitu tidak sekadar mengikuti prosedur dan aturan yang mungkin banyak kelemahannya, tetapi menerapkan dan memaknai aturan sesuai dengan semangat dibentuknya aturan tersebut.
Analogi di atas tidak berlebihan mengingat jumlah daerah yang mekar bila dihitung sejak 2000-2007 telah terjadi pertambahan 173 daerah otonom baru (7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kotamadya) sehingga dewasa ini terdapat 473 daerah otonom. Bahkan, kini telah menunggu di DPR 48 RUU baru pemekaran, termasuk 12 RUU yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR (Kompas, 30/1/2008).
Gelombang pemekaran daerah yang hanya memanfaatkan prosedur aturan yang tidak sempurna disertai kepentingan subyektif para elite daerah maupun di pusat mengakibatkan banyak pemekaran tidak menjamah kepentingan masyarakat. Berbagai studi yang dilakukan masyarakat, pemerintah, khususnya Departemen Dalam Negeri, membuktikan, pemekaran daerah sarat dengan berbagai persoalan sehingga sebagian besar dari daerah pemekaran dianggap gagal. Oleh karena itu, berbagai kalangan masyarakat, pemerintah, termasuk presiden, dan anggota DPR menghendaki agar dilakukan moratorium terhadap proses pemekaran.
Ladang bisnis
Sumber utama kegagalan pemekaran daerah adalah menjadikan pemekaran daerah sering kali hanya sebagai ladang bisnis politik para elite politik dan birokrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur pemekaran daerah, meskipun dianggap kurang sempurna, sebenarnya cukup ketat mengatur pemekaran.
Namun, karena nafsu untuk berkuasa lebih besar dari niat untuk menyejahterakan masyarakat, pemekaran hanya menjadi medan pertarungan kepentingan pribadi dan golongan.
Tidak jarang persyaratan pemekaran, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, dapat lolos berkat deal-deal politik yang sangat oportunistis dan pragmatis. Lebih-lebih pembuatan UU Pemekaran tidak terlalu sulit karena praktis hanya mengubah sedikit konsideran dan diktum dari UU yang telah ada.
Kalau semangat para pengambil kebijakan tidak berubah, meskipun PP No 129/2000 telah diganti dengan PP No 78/2007 yang lebih ketat persyaratannya, hal itu tidak menjamin pemekaran akan bermanfaat bagi masyarakat.
Gagasan moratorium bukan gagasan yang harus ditolak. Namun, penundaan pemekaran tidak hanya dilakukan demi penundaan itu sendiri. Kebijakan tersebut harus bersifat sementara mengingat pemekaran merupakan bagian dari strategi desentralisasi.
Dalam perspektif masyarakat di daerah, satu-satunya cara untuk memperoleh akses pelayanan publik dan akses keuangan hanya melalui pemekaran.
Oleh sebab itu, menunda pemekaran tidak berarti harus mematikan aspirasi daerah, melainkan perlu dilakukan dengan strategi serta niat yang benar, terutama membuat regulasi yang tidak merangsang daerah untuk mekar.
Kebijakan-kebijakan yang harus ditinjau kembali antara lain sebagai berikut. Pertama, kebijakan transfer fiskal (dana alokasi umum, dana bagi hasil, serta dana alokasi khusus), yang justru memberikan alokasi kepada setiap daerah baru. Kedua, tidak adanya kebijakan transisi, seperti kabupaten/kota administratif sebelum menjadi daerah otonomi penuh; bahkan daerah baru selalu harus disertai dengan pembentukan parlemen lokal.
Ketiga, diberlakukannya kebijakan yang sama mengenai jumlah minimal anggota parlemen lokal beserta kedudukan keuangan mereka. Keempat, penambahan unit-unit birokrasi daerah, termasuk eselonisasi yang dibiayai oleh pemerintah pusat.
Kelima, persyaratan jumlah daerah tingkat bawahnya (kabupaten/kota untuk provinsi dan kecamatan untuk kabupaten/kota baru) terlalu sedikit sebagai persyaratan pemekaran daerah baru, dan lain sebaginya.
Oleh sebab itu, dalam menata strategi pemekaran tidak mungkin memproyeksikan secara matematis jumlah daerah otonom yang ideal. Strategi pemekaran daerah harus didasarkan atas beberapa paradigma.
Pertama, pada tingkat kebijakan, pemerintah harus memerhatikan pembangunan daerah tertinggal serta mengembangkan pelayanan umum yang memuaskan masyarakat. Dalam hal ini patut disayangkan departemen sektoral seolah-olah tidak mempunyai tanggung jawab terhadap pemekaran.
Kedua, pada tataran kelembagaan sangat diperlukan peningkatan kapasitas pranata politik lokal, misalnya kaderisasi dan rekrutmen politik, demokratisasi internal partai di tingkat lokal. Ketiga, dalam periode moratorium sebaiknya pemekaran hanya dilakukan jika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ancaman terhadap keamanan nasional dan pertahanan.
Dengan belajar dari berbagai kekurangan dan harapan sebagaimana disebutkan di atas, strategi yang sangat penting bagi pemekaran daerah adalah mengubah paradigma pemekaran sebagai sarana memupuk kekuasaan menjadi sarana mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Kamis, 04 Desember 2008
Fenomena Pemekaran Daerah
Langganan:
Comment Feed (RSS)





|