Sabtu, 31 Januari 2009

Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara


Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis di bawah ini, terdapat dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.

Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam HAN, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi HAN baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.

Identifikasi Masalah

Bagaimana pelaksanaan fungsi-fungsi HAN dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ?

Upaya apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan pemerintahan yang baik ?

Kerangka Pemikiran

Secara teoretis, Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.

Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan. Ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintahan ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state, seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi welfare state, tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.

Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.

Menurut Philipus M. Hadjon, HAN memiliki tiga fungsi yaitu fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan memerintah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Fungsi instrumental berarti menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah. Adapun fungsi jaminan adalah fungsi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat.



Eksistensi Pemerintah dalam konsepsi Welfare State Indonesia.

Negara Hukum Indonesia

*

Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
*

Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
*

Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
*

Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
*

Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
*

Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
*

Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
*

Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Apabila kita meneliti UUD 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).

Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi manusia ini ditiadakan dari konstitusi, maka penyususnan, pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.

Karena esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya, sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia, dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau kehilangan makna.

Adanya kesamaan antar manusia dalam suatu negara akan memungkinkan lahirnya partisipasi aktif dari setiap orang. Partisipasi ini penting dalam suatu negara yang memiliki konstitusi, agar isi dari konstitusi sebagai hukum dasar ini merupakan kristalisasi dari keinginan-keinginan dan kehendak dari sebagian besar masyarakat, kalau tidak dapat dikatakan semua masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu negara ini merupakan esensi dari demokrasi.

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945; “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.

Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.

Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :

*

Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
*

Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
*

Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana ter-akhir;
*

Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :

*

Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
*

Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
*

Kebebasan beragama dalam arti positip;
*

Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
*

Asas kekeluargaan dan kerukunan.

Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.

Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum

Pengertian Tindakan Pemerintahan

Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :

*

Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
*

Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
*

Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
*

Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi

hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.

Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.

Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :

* Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
* Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
* Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
* Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
* Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;
* Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan

Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :

Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;

Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.

Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.

Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara

Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.

Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

*

Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
*

Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
*

Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
*

Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
*

Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.

Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.

Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara

Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan.28 Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan.29 Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu :

Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal;

Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan de-ngan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;

Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.30

Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,31 dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.32 Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.

Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara

Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.

Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :

Syarat-syarat material :

*

Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang;
*

Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
*

Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;
*

Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

Syarat-syarat formal :

*

Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
*

Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
*

Syarat-syarat berhubung de-ngan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;
*

Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.

Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.

Fungsi Jaminan Hukum Ad-ministrasi Negara

Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.34 Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat.35 Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.

Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.

Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan perintahan yang baik.

Mewujudkan Pemerintahan yang Baik

Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.

Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.

Upaya Meningkatkan Peme-rintahan yang Baik

Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu.37 Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Keadaan ini menunjukan penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kesimpulan

Pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.

Upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan antara lain dengan pengawasan lembaga peradilan, pengawasan masyarakat, dan pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Saran

Agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik, maka sebaiknya pengawasan lembaga peradilan, masyarakat, dan lembaga ombusdmen dilakukan dengan efektif. Di samping itu, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van be-horlijk bestuur).

Sumber : http://kunami.wordpress.com/2007/11/06/pelaksanaan-fungsi-hukum-administrasi-negara/

Baca Selengkapnya.....

Kamis, 22 Januari 2009

BHP Adanya Baik Kok.......


Semangat otonomi ternyata tak hanya menyentuh bidang pemerintahan. Pendidikan, perlu pula menunjukkan independensinya bila ingin menjadi lokomotif kemajuan bangsa. Perlunya sebuah Badan Hukum Pendidikan (BHP) ialah untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu di Indonesia. Sesungguhnya, lembaga penyelenggara pendidikan di seluruh dunia berbentuk badan hukum. Maka sudah saatnya pendidikan nasional menata kembali status lembaga pendidikan agar memiliki badan hukum. Selama ini, pendidikan Indonesia mutunya rendah karena masih sulit untuk mengembangkan diri. Jika kondisi ini terus dipaksakan, kemampuan bersaing kita akan semakin berkurang.

kelebihannya pendidikan berbadan hukum
Lembaga pendidikan yang berbadan hukum dapat melaksanakan tindakan hukum, bertanggung jawab secara hukum, membuat keputusan yang berimplikasi hukum, dan dapat dikenai sanksi hukum. Sebagai lembaga yang meluluskan peserta didik, maka ijasah yang dikeluarkannya harus memiliki kekuatan hukum. Tanpa penataan yang jelas, akan banyak masalah yang timbul berkaitan dengan hal-hal tersebut.

hubungan RUU BHP ini dengan otonomi perguruan tinggi
RUU BHP ini sejak dari persiapan sudah terbayang, dengan memberikan otonomi maka dari sisi kekuatan dan kedudukan badan hukum maka perguruan tinggi bisa mempunyai legalitas. Misalkan menerima dana, kemandirian, serta tidak lagi terkooptasi oleh bagian-bagian birokrasi. Terlebih, otonomi akademik memang menjadi ciri dari perguruan tinggi.


Dengan adanya RUU BHP ini yang dulu perguruan tinggi merupakan perpanjangan tangan birokrat, yang selama ini tinggal melaksanakan saja, memang ada yang menjadi cemas. Pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat.

RUU BHP ini membuat perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk mandiri secara pedagogik dan akademik, juga mandiri terhadap menerima berbagai dukungan serta bertanggung jawab terhadap yang dilakukan secara hukum.

Pemerintah tak sepenuhnya lepas tangan
Jika dilihat data tahun demi tahun, dukungan pemerintah terutama untuk pendidikan tinggi tidak pernah kurang, selalu naik dari tahun ke tahun baik mengenai perkapitanya, jumlah beasiswa maupun bantuan untuk perguruan tinggi. Persoalannya dengan adanya UU BHP, kita ingin dana yang diberikan ini lebih efektif dan digunakan tepat guna oleh perguruan tinggi tersebut. Itu sebabnya diperlukan satu badan hukum
yang memungkinkan menerima bantuan pemerintah dan mempertanggungjawabkannya secara akuntabel, karena bisa diperiksa oleh akuntan publik atau dewan audit dan sebagainya.
Pemerintah ingin memastikan penggunaan dana masyarakat dan dana pemerintah ini harus dibuktikan dengan publikasi secara transparan, serta menjaga jangan sampai beban masyarakat untuk pendidikan ini bertambah. Pemerintah pun lebih dijamin dengan mengeluarkan dua pertiga pembiayaan pendidikan di BHP dari pemerintah, makin besar skalanya, makin tinggi mutunya, maka makin besar pula dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi tersebut.
Pemerintah juga menanggung dua per tiga dari biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan. Sedangkan, yang ditanggung peserta didik itu hanya sepertiga dari biaya operasional, bukan sepertiga dari seluruh biaya itu. Bahkan beasiswa yang 20 persen untuk mahasiswa kurang mampu itu ditanggung negara sepenuhnya seperti diamanatkan RUU BHP

hubungan RUU BHP ini dengan otonomi perguruan tinggi
RUU BHP ini sejak dari persiapan sudah terbayang, dengan memberikan otonomi maka dari sisi kekuatan dan kedudukan badan hukum maka perguruan tinggi bisa mempunyai legalitas. Misalkan menerima dana, kemandirian, serta tidak lagi terkooptasi oleh bagian-bagian birokrasi. Terlebih, otonomi akademik memang menjadi ciri dari perguruan tinggi.


Dengan adanya RUU BHP ini yang dulu perguruan tinggi merupakan perpanjangan tangan birokrat, yang selama ini tinggal melaksanakan saja, memang ada yang menjadi cemas. Pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat.

RUU BHP ini membuat perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk mandiri secara pedagogik dan akademik, juga mandiri terhadap menerima berbagai dukungan serta bertanggung jawab terhadap yang dilakukan secara hukum.

Pemerintah tak sepenuhnya lepas tangan
Jika dilihat data tahun demi tahun, dukungan pemerintah terutama untuk pendidikan tinggi tidak pernah kurang, selalu naik dari tahun ke tahun baik mengenai perkapitanya, jumlah beasiswa maupun bantuan untuk perguruan tinggi. Persoalannya dengan adanya UU BHP, kita ingin dana yang diberikan ini lebih efektif dan digunakan tepat guna oleh perguruan tinggi tersebut. Itu sebabnya diperlukan satu badan hukum
yang memungkinkan menerima bantuan pemerintah dan mempertanggungjawabkannya secara akuntabel, karena bisa diperiksa oleh akuntan publik atau dewan audit dan sebagainya.
Pemerintah ingin memastikan penggunaan dana masyarakat dan dana pemerintah ini harus dibuktikan dengan publikasi secara transparan, serta menjaga jangan sampai beban masyarakat untuk pendidikan ini bertambah. Pemerintah pun lebih dijamin dengan mengeluarkan dua pertiga pembiayaan pendidikan di BHP dari pemerintah, makin besar skalanya, makin tinggi mutunya, maka makin besar pula dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi tersebut.
Pemerintah juga menanggung dua per tiga dari biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan. Sedangkan, yang ditanggung peserta didik itu hanya sepertiga dari biaya operasional, bukan sepertiga dari seluruh biaya itu. Bahkan beasiswa yang 20 persen untuk mahasiswa kurang mampu itu ditanggung negara sepenuhnya seperti diamanatkan RUU BHP

Baca Selengkapnya.....

Minggu, 18 Januari 2009

Otonomi: Batu Uji Kemampuan Pemerintah Daerah Sebagai Pengembang Industri di Daerah


Diberlakukannya otonomi daerah secara serentak sejak 1 Januari 2001 telah menunjukkan bergulirnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang penuh prakarsa dari diri pemerintah daerah itu sendiri, berangsur-angsur mulai nampak adanya kecenderungan ke arah transparansi, meskipun saat ini kontrol dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hal penentuan anggaran pendapatan dan belanja daerah masih relatif rendah. Ini adalah dampak dari sisa-sisa mental lama para penyelenggara pemerintah daerah yang cenderung elitis. Oleh karena itu tidak terlalu mengejutkan bila kebanyakan organisasi pemerintahan yang ada sekarang ini sangat asing dengan kata pelanggan. Di benak mereka, pelanggan utama adalah “para atasan” yang sedikit banyak menentukan garis nasib karir mereka. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari praktek penyelenggaraan pemerintahan era Orde Baru yang ditandai dengan sangat tingginya derajat intervensi negara terhadap persoalan-persoalan lokal. Negara saat itu mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas untuk mengatur segala kegiatan masyarakat. Dalam arsitektur politik seperti ini, hampir tidak mungkin ada kontrol rakyat terhadap birokrat dan pejabat.


Ada tiga kebijakan yang memberi kontribusi arogansi birokrasi yaitu (1) strategi pembangunan yang menggunakan pendekatan top-down telah memperluas kekusaan gubernur dan bupati sebagai aparatur pemeritah pusat yang kemudian tidak disadari menumbuhkan sikap lebih merasa sebagai wakil pemerintah pusat ketimbang sebagai orang daerah; (2) UU No 5 Th 1974 yang menempatkan gubernur/bupati sebagai penguasa tunggal di daerah telah mereduksi peran DPRD sehingga dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan DPRD seringkali berperan sebagai bawahan eksekutif. DPRD akhirnya terdegradasi menjadi institusi birokrasi; (3) bupati baik yang berasal dari sipil atau militer, hampir semuanya adalah klien dari satu patron yang memegang kekuasaan lebih tinggi.


Komitmen terhadap pelayanan publik berkualitas

Pemberlakuan UU No 22 dan 25 Tahun 1999 membawa implikasi terhadap paradigma penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan sekarang ini dituntut untuk lebih demokratis dan aspiratif terhadap warganya. Salah satu tuntutan yang sangat kuat adalah keharusan pemerintah (daearah ) untuk memberikan “pelayanan publik yang lebih baik.” Pelayanan publik yang lebih baik tidak lain adalah perwujudan dari layanan publik yang efektif dan efisien. Efektif artinya semua layanan publik itu harus tepat sasaran sedangkan efisien yaitu dengan cost minimal memberikan output maksimal. Secara implisit pemerintah daerah dituntut untuk melakukan customization pelayanan sesuai dengan kelompok yang dilayani sekaligus menetapkan standardisasi mutu pelayanan agar bisa tercapai efesiensi.

Pelayanan publik yang berkualitas itu membutuhkan biaya. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah bagaimana menciptakan sumber pembiayaan yang bersifat sustainable tetapi tanpa terlalu membebani masyarakat. Birokrasi pemerintah daerah hingga sekarang ini masih masih belum terbiasa melakukan inovasi di bidang pemerintahan utamanya yang berhubungan dengan pelayanan publik, salah satu penyebabnya adalah mereka tidak pernah membangun iklim kompetisi baik antar daerah maupun dalam daerah itu sendiri dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.

Persoalan krusial yang dihadapi pemerintah daerah dewasa ini adalah adalah menciptakan sumber-sumber bagi pendapatan asli daerah (PAD). Mereka kebanyakan berorientasi pada bagaimana mengeksploitasi faktor karunia alam (endowment factor), khususnya bagi daerah yang memilikinya, sedangkan daerah yang tidak memiliki karunia alam kehilangan orientasi.

Bila pemerintah daeah jeli mengamati data makro ekonomi sebenarnya bisa melihat opportunity untuk menciptakan PAD. Data makro ekonomi nasional menunjukkan bahwa kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB adalah yang terbesar. Kendati krisis sektor tersebut masih menunjukkan kenaikan meskipun tidak terlalu besar. Pada 1994 kontribusi sektor industri pada pembentukan PDB 20,62% lima tahun kemudian, yaitu 1999 meningkat menjadi 22,45%. Demikian juga perannya dalam ekspor nasional.

Bila ditelusuri lebih lanjut, daerah-daearah yang mempunyai produk domestik bruto tinggi dan pendapatan per kapita tinggi adalah daerah-daerah yang banyak memiliki pusat industri. Mengapa industri itu terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, ternyata jika dicermati lebih lanjut adalah daerah tersebut memiliki infrastruktur memadai dan sumber daya manusia yang berkualitas secara relatif bila dibandingkan dengan daerah lain. Dua variabel tersebut, yaitu infrastruktur dan sumber daya manusia ternyata secara signifikan mampu meningkatkan standar hidup warganya.

Otonomi daerah sebenarnya memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan suatu iklim berusaha yang kondusif di daerah. Pemerintah daerah dituntut untuk memiliki mindset entrepreneurial. Selain itu, pemerintah daerah harus berorientasi prospektor (meminjam tipologi yang dibuaat Miles dan Snow). Pemerintah secara terus menerus harus mencari peluang baru. Domain pelayanan yang diberikan harus fleksibel, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pelanggan. Proaktif menciptakan perubahan. Struktur organisasinya harus luwes, derajat formalisasi dan rutinisasi rendah, desentralisasi kewenangan yang memadai, komunikasi lateral dan vertikal harus sama baiknya. Bila itu dipenuhi maka pemerintah daerah cenderung akan menjadi lebih cerdas dalam merespon peluang dan akan mampu memberikan layanan yang berkualitas.

Reenjinering organisasi pemerintahan daerah

Organisasi pemerintah daerah yang ada sekarang ini perlu di-reenjinering agar bisa berorientasi prospektor. Pemerintah daerah harus mengambil inisiatif melakukan re-engineering government thinking. Pemerintah daerah perlu memberikan kebebasan dan mendorong keberanian aparatnya untuk mengembangkan gagasan pelayanan publik yang lebih baik. Di sini pemerintah daerah perlu mengembangkan kebijakan yang mendorong tumbuhnya inovasi. Untuk mewujudkan re-engineering government thinking diperlukan empat langkah tindakan yaitu:

1. Adanya visi yang jelas yang hendak dituju - ini membutuhkan saling pemahaman antara DPRD dengan Kepala Daerah sehingga bila diperlukan tindakan khusus (extraordinary) itu dapat mudah dicapai.
2. Adanya sistem umpan balik dan positive reinforcement – ini penting untuk memberikan penghargaan kepada inovator potensial.
3. Penekanan pada tanggungjawab individual – ini penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri, trust, dan akuntabilitas. Ini adalah kunci keberhasilan setiap program inovasi.
4. Reward didasarkan pada hasil – reward system akan mendorong pegawai pemerintah daerah untuk akrab dengan risiko dan tidak takut gagal.



Membangun citra bersahabat dengan dunia usaha

Otonomi daerah yang direpresentasikan ke dalam kewenangan daerah berdasarkan UU No 22 Th 1999 sangatlah luas. Kewenangan daerah mencakup semua kewenangan kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional) oleh kalangan dunia usaha dilihat memiliki potensi untuk menimbulkan “gegar kekuasaan” pada pemerintah daerah.

Kalangan dunia usaha menangkap adanya gelagat akan munculnya aksi-aksi kebijaksanaan yang sepintas lalu tampak menguntungkan daerah yang memprakarsainya, tetapi dalam jangka panjang akan merugikan semua daerah atau nasional. Ekses “gegar kekuasaan” itu mewujud ke dalam tindakan: (1) munculnya proteksionisme kedaerahan – insiden Sampit mungkin bisa dijadikan contoh representasi proteksionisme; (2) dorongan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah – mempunyai potensi untuk menghambat laju pertumbuhan ekonomi daerah karena bisa memunculkan iklim usaha yang tidak kondusif yang mewujud ke dalam bentuk ekonomi biaya tinggi; (3) birokratisasi perijinan – ini berpotensi untuk memicu migrasi kegiatan bisnis ke daerah yang lebih luwes dan sederhana perijinannya tetapi tidak menutup kemungkinan mendorong migrasi ke luar negeri. Exodusnya Johnson & Johnson sebuah perusahaan PMA yang berlokasi di Pasuruan ke Filipina hendaknya bisa dijadikan pelajaran.

Kekhawatiran dunia usaha itu yang harus dijawab oleh pemerintah daerah melalui tindakan nyata berupa: (1) kemampuan menciptakan stabilitas keamanan di daerah – yaitu sejauh mana daerah mampu mengelola perbedaan (etnik, struktur sosial, ekonomi, agama) sehingga menjadi hilang potensi destruktifnya; (2) birokrasi yang luwes/lentur – responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Saat ini sebagian besar pelayanan publik, jenis dan volumenya tidak ditentukan oleh keinginan pelanggan, tetapi oleh peraturan perundangan. Legislatif dalam membuat undang-undang bukan merupakan respon dari permintaan masyarakat, melainkan respon terhadap para pendukungnya. Perlu diingat beberapa pelanggan terutama dunia usaha mungkin tidak menginginkan pelayanan standar; (3) kemampuan memberikan insentif berupa ROI yang kompetitif – hingga sekarang ini masih sedikit pemeintah daerah yang mempunyai pengalaman dan kemampuan menciptakan iklim investasi yang mampu menghadirkan ROI yang kompetitif karena birokrasi pemerintah daerah masih sangat rendah sense of entrepreneurshipnya. Pemerintah daerah dan pusat yang masih kental mindset birokratikya lebih memfokuskan perhatiannya pada masukan (penerimaan) bukan pada hasil.

Dalam perspektif pemerintahaan entrepreneurial memberikan pelayaan publik yang efektif dan efisien adalah merupakan tujuan, sedangkan pendapatan daerah adalah akibat dari kemampuan menyajikan layanan tersebut. Ini yang harus menjadi rule of thumb. Pemerintah baik pusat maupun daerah sekarang masih belum terbebas dari mindset masa lalu. Pengalaman masa lalu telah menjadi semacam penjara dan menghambat pembaruan kode genetik, terutama pengalaman sukses dalam memelihara dan mewujudkan keinginan pemerintah di masa lalu. Kode genetik organisasi ini mencakup kepercayaan, nilai-nilai, norma tentang bagaimana memotivasi orang, membangun keseimbangan antara kerjasama dan persaingan internal, menata hubungan antara atasan dan bawahan yang mengarah terbentuknya sukses di masa lalu.

Responsif terhadap lingkungan yang berubah

Lingkungan pemerintahan sudah berubah, demokratisasi di segala bidang telah menjadi kecenderungan yang tidak terlawan. Keinginan masyarakat sekarang ini adalah Pemerintah (pusat dan daerah) harus terbebas dari pengalaman masa lalu. Ini artinya di jajaran birokrasi diperlukan hijrah mental.

Hijrah mental penting untuk menghindari ortodoksi, ini bisa dilakukan dengan mengembangkan kemampuan melihat ke depan seperti apa layanan publik yang dikehendaki masyarakat dengan menggunakan lensa wide angle dan multiplicity lens agar horisonnya menjadi luas dan dapat melihat dari berbagai facet.

Hijrah menal di jajaran birokrasi sekarang masih belum terjadi paling tidak dalam perspektif otonomi. Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan komponen penting dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dipahami hanya sebatas sebagai instrumen pemerataan bukan sebagai instrumen untuk membangun rasa bertanggungjawab pemerintah daerah kepada rakyatnya. Angka-angka alokasi DAU untuk daerah tidak memberikan motivasi kepada daerah untuk meningkatkan pelayanan publik secara efektif dan efisien.

Perhitungan DAU hanya didasarkan pada: (1) kebutuhan wilayah otonomi Daerah – dihitung berdasarkan perkalian antara Pengeluaran Daerah Rata-Rata (PDRR), dengan penjumlahan Indeks penduduk, luas Daerah, harga banguan dan kemiskinan relatif; (2) potensi daerah - yang dihitung berdasarkan perkalian penerimaan daerah rata-rata dengan penjumlahan dari indeks industri, sumber daya alam dan indeks sumber daya manusia.

Mestinya DAU itu diberikan dengan menggunakan indikator yang mengarah pada perbaikan kualitas hidup manusia (human development index – HDI) di daerah. Yaitu sejauh mana daerah mampu membuahkan prestasi dalam meningkatkan harapan hidup bayi lahir dan pengurangan angka kematian ibu saat melahirkan, tingkat melek huruf penduduk dewasa, meningkatkan indeks pendidikan, indeks kualitas hidup, menyediakan kesempatan kerja dan penurunan pengangguran, penurunan kriminalitas, kemampuan menciptakan investasi dan membukukan neraca sumber daya alam yang sustainable.

Bila ini dijadikan persyaratan untuk penerimaan DAU tidak mustahil akan memicu persaingan yang positif antar pemerintah daerah untuk menghadirkan pelayanan publik yang terbaik. Pada gilirannya akan memicu arus balik investasi dari pusat ke daerah. Investor hanya butuh tiga hal yaitu stabilitas keamanan yang terjamin, birokrasi yang luwes, dan ROI yang kompetitif.

Kebanyakan Pemerintah Daerah sekarang ini menganggap persoalan utama yang dihadapi yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi adalah bagaimana menciptakan dan meningkatkan pendapatan asli daerah agar bisa membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Ini adalah cara pandang yang keliru. Pemerintah daerah sebenarnya sedang menghadapi organizational change, yaitu dituntut untuk berubah dari kondisi sekarang ke kondisi yang lebih baik untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Perubahan tersebut paling tidak harus mencakup empat tataran yaitu: (1) pembenahan sumber daya manusia – yang diarahkan pada peningkatan skill dan ability agar pemerintah daerah tersebut memiliki keunggulan kompetitif; (2) penataan fungsi-fungsi organisasi agar mampu menghadapi lingkungan yang sama sekali baru – terutama bagaimana menarik kalangan dunia usaha untuk berinvestasi di daerah; (3) peningkatan kemampuan teknologi – dengan kemampuan teknologi yang dimiliki memungkinkan organisasi pemerintah daerah memiliki kapasitas untuk mengubah dirinya sendiri untuk mengeksploitasi peluang yang ada; dan (4) pembenahanan kemampuan organisasi – melalui desain struktur dan budaya organisasi agar lebih sesuai dengan medan yang dihadapi. Organisasi dapat memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber-sumber fungsional untuk memanfaatkan technological opportunity.

Perubahan organisasi sering melibatkan perubahan hubungan antara orang dan fungsi karena ada tuntutan guna meningkatkan kemampuan organisasi untuk menciptakan nilai. Mengubah organisasi yang tadinya berwatak birokratik menjadi berwatak entrepreneurial adalah pekerjaan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah sekarang ini. Perubahan itu hanya mungkin dilakukan dengan reengineering dan inovasi. Reengineereing melibatkan pengkajian dan penataan ulang proses penyelenggaraan pemerintahan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Fokus reengineering ini pada dua bidang utama yaitu fungsi dan proses.

Organisasi pemerintahan daerah yang ada sekarang yang merupakan warisan lama cenderung seragam tidak mungkin mampu memaksimalkan pelayanan publik dan men-generate dan meng-create sumber-sumber pendapatan asli daerah. Untuk itu perlu disesuaikan dengan medan yang dihadapi. Pemerintah Daerah yang ingin menarik investor untuk membangun bisnisnya di daerah, perlu memulai reengineering proses penyelenggaraan pemerintahan dengan mengajukan pertanyaan kepada pelanggan utamanya dalam hal ini adalah kalangan dunia usaha, “Proses penyelenggaraan pemerintahan seperti apa yang mampu memberikan iklim kondusif bagi perkembangan dunia usaha?” Ketika pemerintah daerah sudah mendapatkan input dari kalangan dunia usaha, maka input tersebut digunakan sebagai bahan untuk melakukan reengineering proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Setelah dilakukan reengineering pemerintah daerah menjadi lebih responsif dan lebih efisien dalam memberikan pelayanan publik.

Inovasi adalah cara lain untuk melakukan perubahan radikal dalam organisasi. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dituntut untuk mengoptimalkan penggunaan skill dan sumber-sumber yang dimiliki untuk mengembangkan layanan baru yang lebih mengena pada keinginan pelanggan dengan biaya yang lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Pemerintah Daerah harus mampu menghadirkann sustainable public services advantages yang dibangun dari resources based (konsep ini dipinjam dari W. Keegan. 1997, Barlett. 1997, dan Goshal 1997) yang mengutamakan kompetensi dalam bersaing berbasis pada kekuatan sendiri. Bagaimana menciptakan inovasi masa depan melalui sumber daya yang dimiliki oleh organisasi untuk dapat ditingkatkan kapabilitasnya dalam bersaing melalui pemilihan kompetensi inti sehingga dapat diciptakan suatu strategi hambatan buat para pesaing berupa kesulitan untuk ditiru.

Pemerintah Daerah harus memperhatikan tiga aspek yaitu: (1) aspek sumber daya, (2) aspek faktor Keberhasilan, dan (3) aspek proses belajar. Pemerintah Daerah harus mampu mengeksploitasi sumber daya intangible dan very intangible sebagai daya tarik untuk memikat kalangan dunia usaha. Sumber daya intangible ini mencakup ketrampilan aparat Pemda, efesiensi pelayanan dan kualitas pelayanan. Sedangkan sumber daya very intangible mencakup moral aparat pemda, reputasi di mata pelanggan dalam hal ini masyarakat, dan reputasi di mata para pelaku ekonomi.

Aspek kedua adalah Faktor Keberhasilan, ini terdiri dari: (1) faktor ilmu pengetahuan, (2) faktor kohesi sosial, (3) faktor infrastruktur, (4) faktor konektivitas, dan (5) faktor produktivitas.

Pemerintah Daerah harus mampu menunjukkan kepada kalangan dunia usaha sampai sejauh mana dirinya itu bisa mengelola human capital, structural capital dan relational capital yang ada dalam wilayahnya. Human capital ini berkaitan dengan kualitas skill dan capability tenaga kerja yang ada di wilayah Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Structural capital bertautan dengan sejauh mana Pemerintah Daerah itu mampu mengelola unsur-unsur dan fungsi organisasi secara efektif dan efisien. Relational capital berhubungan dengan kemampuan membangun jejaring (network) di dalam organisasi atau di dalam kawasan serta hubungannya dengan dunia internasional.

Faktor keberhasilan kedua adalah kohesi sosial. Faktor kohesi sosial suatu organisasi atau kawasan adalah paparan tentang kebiasaan, sikap hidup, etos kerja, etika dan hubungan-hubungan yang tumbuh di dalam organisasi maupun kawasan, serta bagaimana itu semua dikelola. Itu semua akan menghasilkan trust. Kohesi sosial yang kuat akan menghasilkan high trust society yang nampak pada penghormatan pada hukum dan aturan main yang disepakati bersama. Sebaliknya kohesi sosial yang rendah akan menghasilkan low trust society, yang ditandai dengan sering munculnya penyalahgunaan public role, resources, dan penggunaan pengaruh politik yang tidak dibenarkan dalam peraturan perundangan tetapi kerap kali dilakukan oleh pemerintah atau swasta.


Faktor keberhasilan ketiga adalah infrastruktur yang mencakup infrastruktur fisik, struktural dan sumber daya manusia. Faktor keberhasilan keempat adalah konektivitas, yakni sejauh mana Pemerintah Daerah itu mampu menjadikan daerahnya sebagai kawasan terbuka sehingga memungkinkan terjadinya interkoneksi dengan kawasan lain yang membentuk sinergi. Faktor keberhasilan kelima adalah produktivitas, yaitu jumlah total barang dan jasa yang dikreasikan atau diinovasikan di sutau kawasan, serca efisiensi yang dapat dicapai. Ini penting untuk menunjukkan keunggulan daya saing suatu daerah.

Menciptakan entrepreneurial governance

Pemerintah Daerah yang mampu menghadirkan sustainable public service advantage adalah pemerintahan yang memiliki mindset entrepreneurial. Ada tiga ciri mindset pemerintahan entrepreneurial yang ditunjukkan ke dalam perilaku yaitu: (1) initiative taking, (2) the organizing and reorganizing of social/economic mechanism to turn resources and situation to practical account, (3) acceptance of risk or failure. Satu hal yang melekat dalam mindset entrepreneurial adalah adanya komitmen yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran.

Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan entrepreneurial adalah pemerintah daerah yang mampu menciptakan dan membangun visi dari yang sama sekali tidak ada menuju sesuatu yang dicita-citakan dan sekaligus bisa diwujudkan. Ini adalah suatu tindakan kreatif kolektif yang dipandu oleh misi, tujuan organisasi dan strategi yang digunakan untuk mewujudkan misi dan tujuan tersebut.

Salah satu mindset entrepreneurial adalah initiative taking. Pemerintah Daerah disini harus mampu mengambil prakarsa untuk menghadirkan inovasi pelayaan publik terutama untuk dunia usaha. Salah satunya adalah memperkenalkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.

Persaingan pemberian pelayanan ini akan memberikan keuntungan bagi yang melayani dan yang dilayani yaitu akan tercipta efisiensi secara agregat. Keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah efisiensi yang lebih besar yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan daerah itu sendiri. Kompetisi akan memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk merespon kebutuhan pelanggannya. Satu hal terpenting dari kompetisi adalah kemampuannya menghargai inovasi, sementara monopoli melumpuhkannya. Untuk pegawai pemerintah daerah kompetisi itu akan membangkitkan rasa harga diri dan semangat juang – yaitu bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat.

Agar pemerintah daerah mampu menunjukkan kinerja yang efisien harus mengubah orientasinya dari orientasi biaya ke orientasi hasil (outcome). Lembaga yang bekerja atas dasar masukan (input) jarang sekali mau berusaha keras untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik. Agenda penting bagi Pemerintah Daerah adalah mengukur hasil kinerjanya dari waktu ke waktu dengan standar yang telah disepakati bersama (antara pemerintah dengan pelanggannya). Kegagalan pemerintah yang masih menggunakan mindset birokratik adalah tidak pernah mengukur hasil kinerjanya, maka jarang sekali mampu mencapai keberhasilan.

Pengukuran kinerja pemerintahan dalam entrepreneurial governance memungkinkan terjadinya proses perbaikan yang berkesinambungan dan Pemerintah Daerah menjadi lentur dalam menyesuaikan strategi pelayanan masyarakat.

Dengan model pengendalian strategi pelayanan tersebut pemerintah daerah dapat mengambil mafaat diantaranya adalah:

1. dapat membedakan keberhasilan dengan kegagalan
2. dapat melihat keberhasilan dan kegagalan dan menghargainya.
3. dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalan
4. dapat mengenali kegagalan dan memperbaiki kegagalan
5. dapat menunjukkan hasil dan memenangkan dukungan masyarakat.


Target peningkatan PAD dan kekhawatiran dunia usaha

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam era otonomi akan dijadikan tolok ukur gengsi Pemerintah Daerah. Menjelang dan beberapa minggu setelah otonomi daerah diterapkan secara serentak telah menimbulkan persoalan. Aneka pungutan baik yang berupa pajak maupun retribusi daerah menjadi suatu tren. Pemerintah daerah mulai mempersoalkan aset-aset yang mempunyai nilai ekonomis bagi daerah lain tetapi asset tersebut berada di daerahnya, untuk contoh sumber air minum, tempat-tempat pariwisata dan kawasan industri. Hal ini bisa memunculkan pertikaian perbatasan antar daerah yang menyangkut wilayah yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Daerah yang merasa dirugikan akibat adanya kegiatan ekonomi di daerah tetangganya merasa berhak untuk meminta kompensasi yang diwujudkan dengan pungutan.

Bila hal tersebut terjadi maka akan menimbulkan suasana berusaha yang tidak kondusif di daerah. Kalangan pengusaha sudah mengkhawatirkannya. Mereka berharap pelaksanaan otonomi daerah hendaknya diikuti dengan penciptaan situasi kondusif bagi investor. Pemerintah Daerah harus membuat administrasi pemerintahan yang teratur, konsisten, dan bersih dari KKN. Kalangan pengusaha juga menuntut adanya jaminan kepastian hukum dan keamanan, sehingga mereka bisa tenang menjalankan usahanya.

Situasi ekonomi yang belum kondusif bagi dunia usaha hendaknya oleh Pemerintah Daerah dijadikan titik masuk menggiring arus investasi ke daerah dengan jalan membangun iklim berusaha di daerah lebih kondusif. Tugas menciptakan iklim berusaha yang kondusif bukan semata-mata tugas pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah pun bisa berkontribusi. Kestabilan politik di daerah dan adanya daya tarik ekonomi bisa dijadikan modal untuk menarik investor lokal maupun luar negeri.

Menciptakan iklim kondusif memang bukan pekerjaan mudah. Hampir sebagian besar pemerintah daerah belum berpengalaman dan belum memiliki mindset entrepreneurial. Mewirausahakan birokrasi itu butuh waktu. Sebenarnya pada era Orde Baru pemerintah daerah sudah mulai melakukan ‘pemerintahan wirausaha’ sayangnya misi peningkatan pelayanan publik itu terdistorsi oleh semangat KKN yang kelewat besar. Contoh yang paling gamblang adalah dalam penyelenggaraan tukar guling dan pengerjaan proyek-proyek BOT di masa lalu. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.

Model tukar guling yang semestinya menghasilkan laba bagi pemeritah daerah dan dijadikan wahana untuk peningkatan utilitas publik terdistori oleh KKN. Sudah saatnya mulai dipikirkan seluruh pelayanan publik itu menguntungkan individu dengan membuat customization public service. Customization public service itu menuntut tiga syarat: (1) pelayanan yang bisa di’customized’ adalah pelayanan untuk barang dan jasa privat dan menguntungkan penggunanya; (3 ) yang tidak membayar dapat dipisahkan dalam menikmati manfaatnya; dan (3) pungutan itu dapat dilakukan dengan efisien.



Aparat Pemerintah Daerah sekarang ini semakin dituntut untuk mampu menghitung benefit dari pembelanjaan sebagaimana suatu investasi. Harus mampu mengenali pengeluaran apa saja yang bisa memaksimumkan pendapatan. Di sini aparat Pemerintah Daerah dituntut untuk memiliki mentalitas investasi. Untuk mendapatkan uang diperlukan uang. Ini yang harus dipahami.


Dalam kaitan dengan peningkatan pendapatan asli daerah sudah semestinya pemerintah daerah itu memperhatikan cetak biru kebijakan daya saing nasional terutama yang berhubungan dengan Industry-wide policies yang mencakup enam bidang kebijakan yaitu:


1. Macroeconomic Environment. Pemerintah Pusat harus mem-backup lingkungan ekonomi makro yang stabil dengan mewujudkan nilai tukar yang stabil, tingkat bunga bank yang bersaing, dan tingkat pajak yang reasonable bagi pelaku usaha. Pemerintah Daerah juga harus bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk memonitor dengan cermat perkembangan dalam sektor industri dan perdagangan, neraca perdagangan dan pengaruhnya terhadap neraca pembayaran
2. Physical infrastructure. Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas secara memadai di daerah akan menjadi daya tarik bagi investor domestik maupun asing, terutama infrastruktur yang menghubungkan aktivitas ekonomi domestik dengan aktivitas ekonomi di luar negeri.
3. Regulatory and business environment. Lingkungan bisnis dan kebijakan merupakan elemen penting dari country cost. Lingkungan bisis dan kebijakan oleh para investor sering dianggap sebagai fakto penyulit dalam investasi. Pemerintah Daerah harus mampu menghadirkan lingkungan bisnis dan kebijakan yang memberikan daya pikat kepada investor. Pemeritah Daerah harus tidak pernah bosan berkonsultai dengan pelaku dunia usaha untuk mendengarkan apa yang menjadi concern mereka, mengidentifikasi apa yang menjadi bottleneck di wilayahnya, dan memberikan jaminan revisi kebijakan bila terjadi pengambilan kebijakan yang salah.
4. FDI Policy. Pemerintah Daerah harus rajin melakukan promosi yang efektif, melayani apa yang menjadi kebutuhan investor, memberikan layanan yang cepat dan efiien, mengembankan kemampuan lokal, memanfatkan FDI untuk pengembangan industri baru dan untuk memaksimalkan pengembangan teknologi.
5. Human resource development. Daerah secara berkesinambungan harus mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kerja yang ada di daerahnya agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Data base ketenagakerjaan yang akurat sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh dunia usaha harus bisa dihadirkan oleh pemerintah daerah.
6. Promoting regional potentials and regional industrialization. Dengan membesarnya kewenangan daerah untuk mengelola urusan rumahtangganya memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk membangun kerjasama dengan tetangganya dalam rangka melakukan industrialisasi di suatu kawasan. Model-model pusat pertumbuhan seperti SIJORI bisa dikembangkan pada daerah tingkat I maupun daerah tingkat II.

Bila ketentuan yang dipaparkan di atas itu bisa dipenuhi oleh Pemerintah Daerah adalah suatu keniscayaan akan terjadi arus balik investasi dari pusat ke daerah dan akan terjadi proliferasi kewirausahaan di daerah dalam skala yang masif.

Sumber : http://fadelmuhammad.org

Baca Selengkapnya.....

Jumat, 16 Januari 2009

Time to change


16 Januari 2009 genap sudah umurku 22 tahun. hm...sudah tua. Kadang aku ingin menghentikan umurku agar tidak bertambah. Tapi inilah hidup...berjalan terus tanpa peduli bahwa kita butuh waktu sejenak untuk berhenti.
Ulang tahun ini rasanya hampa..tanpa ada warna-warni seperti di tahun-tahun sebelumnya. Tapi inilah yang kuinginkan. Tanpa perayaaan. Tanpa gegap gempita. Walaupun akan ada ucapan selamat dari ibu, ayah, kakak, saudara, Sahabat, Pacar. Aku harap mereka tidak lupa ulang tahunku di awal tahun ini.

22 tahun..i feel nothing, Empty, Kosong. Kadang merasa bosan, Sampai sekarang aku belum menemukan apa yang kumau. Belum meraih apa-apa. Belum berani mengejar mimpi-mimpi sendiri.

Mungkin inilah saatnya untuk Time to change..

tahun ini, seperti tahun lalu, aku tak membuat resolusi. bukan tak punya target atau harapan. aku cuman tak siap kecewa saja.

terlalu jauh menurutku, aku hanya ingin bisa membaca buku sehari satu. dan orang di sampingku mensenyumi ku.



Baca Selengkapnya.....

Sejarah Berdirinya Friendster.....


Friendster merupakan sebuah website yang sangat populer di kalangan orang Indonesia, Malaysia, dari balita sampai nenek-nenek centil yang menganut paham Narsisme. Friendster jelasnya merupakan sebuat komuniti gabungan orang-orang narsis yang gila foto diri sendiri, menggunakan bahasa abegong (misal : "aQuwH cHaYaNk kAmUwH,xixixi.."),menggunakan statusnya sebagai nama belakang (misal : "doDhoLh KaNgEn DiAaA", atau "DiNa ChAyAnK DiAaA"),keranjingan mencari-cari pasangan hidup dunia maya, cari pacar, cari kenalan, cari hewan peliharaan yang hilang,menggunakan nama belakang palsu, nulis minta add di profil, dan Justify Fulllain lain

Selain menemukan Wikipedia, Jimmy Wales pun menemukan Friendster. Saat Jimbo berumur 14 tahun (kok bisa sih padahal yang boleh punya kan cuma orang yang berumur 16 tahun keatas). Jimbo sedang pacaran 5 hari setelah tunangan mereka bertengkar dan menemukan Friendster, Jimmy mengatakan "Pada suatu hari saya ingin membuat Friendmedia foundation.Inc

Tahun pertama berdirinya Friendster, Jimmy Wales merasa kewalahan dan memutuskan untuk menyewa pakar di bidang teknologi informasi yang kemudian posisi tersebut didapatkan oleh Roy Suryo. Jimmy Wales mendapatkan nama pakar ini melalui sebuah tabloid khusus dewasa Lampu Merah.

Tahun kedua setelah berdirinya Friendster, Jimmy Wales sudah merasakan ketidak cocokan dengan Roy Suryo, dikarenakan pakar yang satu ini setiap hari meneliti metadata dan melakukan analisa spektrum suara. Akhirnya Jimmy Wales memecat Roy Suryo dari manajemen Friendster. Disinyalir dari sinilah Roy Suryo tidak menyukai Friendster dan menyatakan bahwa 68% profile di Friendster adalah palsu.

Sumber: technology.feedfury.com

Baca Selengkapnya.....

Comments