
Diberlakukannya otonomi daerah secara serentak sejak 1 Januari 2001 telah menunjukkan bergulirnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang penuh prakarsa dari diri pemerintah daerah itu sendiri, berangsur-angsur mulai nampak adanya kecenderungan ke arah transparansi, meskipun saat ini kontrol dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hal penentuan anggaran pendapatan dan belanja daerah masih relatif rendah. Ini adalah dampak dari sisa-sisa mental lama para penyelenggara pemerintah daerah yang cenderung elitis. Oleh karena itu tidak terlalu mengejutkan bila kebanyakan organisasi pemerintahan yang ada sekarang ini sangat asing dengan kata pelanggan. Di benak mereka, pelanggan utama adalah “para atasan” yang sedikit banyak menentukan garis nasib karir mereka. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari praktek penyelenggaraan pemerintahan era Orde Baru yang ditandai dengan sangat tingginya derajat intervensi negara terhadap persoalan-persoalan lokal. Negara saat itu mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas untuk mengatur segala kegiatan masyarakat. Dalam arsitektur politik seperti ini, hampir tidak mungkin ada kontrol rakyat terhadap birokrat dan pejabat.
Ada tiga kebijakan yang memberi kontribusi arogansi birokrasi yaitu (1) strategi pembangunan yang menggunakan pendekatan top-down telah memperluas kekusaan gubernur dan bupati sebagai aparatur pemeritah pusat yang kemudian tidak disadari menumbuhkan sikap lebih merasa sebagai wakil pemerintah pusat ketimbang sebagai orang daerah; (2) UU No 5 Th 1974 yang menempatkan gubernur/bupati sebagai penguasa tunggal di daerah telah mereduksi peran DPRD sehingga dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan DPRD seringkali berperan sebagai bawahan eksekutif. DPRD akhirnya terdegradasi menjadi institusi birokrasi; (3) bupati baik yang berasal dari sipil atau militer, hampir semuanya adalah klien dari satu patron yang memegang kekuasaan lebih tinggi.
Komitmen terhadap pelayanan publik berkualitas
Pemberlakuan UU No 22 dan 25 Tahun 1999 membawa implikasi terhadap paradigma penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan sekarang ini dituntut untuk lebih demokratis dan aspiratif terhadap warganya. Salah satu tuntutan yang sangat kuat adalah keharusan pemerintah (daearah ) untuk memberikan “pelayanan publik yang lebih baik.” Pelayanan publik yang lebih baik tidak lain adalah perwujudan dari layanan publik yang efektif dan efisien. Efektif artinya semua layanan publik itu harus tepat sasaran sedangkan efisien yaitu dengan cost minimal memberikan output maksimal. Secara implisit pemerintah daerah dituntut untuk melakukan customization pelayanan sesuai dengan kelompok yang dilayani sekaligus menetapkan standardisasi mutu pelayanan agar bisa tercapai efesiensi.
Pelayanan publik yang berkualitas itu membutuhkan biaya. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah bagaimana menciptakan sumber pembiayaan yang bersifat sustainable tetapi tanpa terlalu membebani masyarakat. Birokrasi pemerintah daerah hingga sekarang ini masih masih belum terbiasa melakukan inovasi di bidang pemerintahan utamanya yang berhubungan dengan pelayanan publik, salah satu penyebabnya adalah mereka tidak pernah membangun iklim kompetisi baik antar daerah maupun dalam daerah itu sendiri dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.
Persoalan krusial yang dihadapi pemerintah daerah dewasa ini adalah adalah menciptakan sumber-sumber bagi pendapatan asli daerah (PAD). Mereka kebanyakan berorientasi pada bagaimana mengeksploitasi faktor karunia alam (endowment factor), khususnya bagi daerah yang memilikinya, sedangkan daerah yang tidak memiliki karunia alam kehilangan orientasi.
Bila pemerintah daeah jeli mengamati data makro ekonomi sebenarnya bisa melihat opportunity untuk menciptakan PAD. Data makro ekonomi nasional menunjukkan bahwa kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB adalah yang terbesar. Kendati krisis sektor tersebut masih menunjukkan kenaikan meskipun tidak terlalu besar. Pada 1994 kontribusi sektor industri pada pembentukan PDB 20,62% lima tahun kemudian, yaitu 1999 meningkat menjadi 22,45%. Demikian juga perannya dalam ekspor nasional.
Bila ditelusuri lebih lanjut, daerah-daearah yang mempunyai produk domestik bruto tinggi dan pendapatan per kapita tinggi adalah daerah-daerah yang banyak memiliki pusat industri. Mengapa industri itu terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, ternyata jika dicermati lebih lanjut adalah daerah tersebut memiliki infrastruktur memadai dan sumber daya manusia yang berkualitas secara relatif bila dibandingkan dengan daerah lain. Dua variabel tersebut, yaitu infrastruktur dan sumber daya manusia ternyata secara signifikan mampu meningkatkan standar hidup warganya.
Otonomi daerah sebenarnya memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan suatu iklim berusaha yang kondusif di daerah. Pemerintah daerah dituntut untuk memiliki mindset entrepreneurial. Selain itu, pemerintah daerah harus berorientasi prospektor (meminjam tipologi yang dibuaat Miles dan Snow). Pemerintah secara terus menerus harus mencari peluang baru. Domain pelayanan yang diberikan harus fleksibel, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pelanggan. Proaktif menciptakan perubahan. Struktur organisasinya harus luwes, derajat formalisasi dan rutinisasi rendah, desentralisasi kewenangan yang memadai, komunikasi lateral dan vertikal harus sama baiknya. Bila itu dipenuhi maka pemerintah daerah cenderung akan menjadi lebih cerdas dalam merespon peluang dan akan mampu memberikan layanan yang berkualitas.
Reenjinering organisasi pemerintahan daerah
Organisasi pemerintah daerah yang ada sekarang ini perlu di-reenjinering agar bisa berorientasi prospektor. Pemerintah daerah harus mengambil inisiatif melakukan re-engineering government thinking. Pemerintah daerah perlu memberikan kebebasan dan mendorong keberanian aparatnya untuk mengembangkan gagasan pelayanan publik yang lebih baik. Di sini pemerintah daerah perlu mengembangkan kebijakan yang mendorong tumbuhnya inovasi. Untuk mewujudkan re-engineering government thinking diperlukan empat langkah tindakan yaitu:
1. Adanya visi yang jelas yang hendak dituju - ini membutuhkan saling pemahaman antara DPRD dengan Kepala Daerah sehingga bila diperlukan tindakan khusus (extraordinary) itu dapat mudah dicapai.
2. Adanya sistem umpan balik dan positive reinforcement – ini penting untuk memberikan penghargaan kepada inovator potensial.
3. Penekanan pada tanggungjawab individual – ini penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri, trust, dan akuntabilitas. Ini adalah kunci keberhasilan setiap program inovasi.
4. Reward didasarkan pada hasil – reward system akan mendorong pegawai pemerintah daerah untuk akrab dengan risiko dan tidak takut gagal.
Membangun citra bersahabat dengan dunia usaha
Otonomi daerah yang direpresentasikan ke dalam kewenangan daerah berdasarkan UU No 22 Th 1999 sangatlah luas. Kewenangan daerah mencakup semua kewenangan kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional) oleh kalangan dunia usaha dilihat memiliki potensi untuk menimbulkan “gegar kekuasaan” pada pemerintah daerah.
Kalangan dunia usaha menangkap adanya gelagat akan munculnya aksi-aksi kebijaksanaan yang sepintas lalu tampak menguntungkan daerah yang memprakarsainya, tetapi dalam jangka panjang akan merugikan semua daerah atau nasional. Ekses “gegar kekuasaan” itu mewujud ke dalam tindakan: (1) munculnya proteksionisme kedaerahan – insiden Sampit mungkin bisa dijadikan contoh representasi proteksionisme; (2) dorongan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah – mempunyai potensi untuk menghambat laju pertumbuhan ekonomi daerah karena bisa memunculkan iklim usaha yang tidak kondusif yang mewujud ke dalam bentuk ekonomi biaya tinggi; (3) birokratisasi perijinan – ini berpotensi untuk memicu migrasi kegiatan bisnis ke daerah yang lebih luwes dan sederhana perijinannya tetapi tidak menutup kemungkinan mendorong migrasi ke luar negeri. Exodusnya Johnson & Johnson sebuah perusahaan PMA yang berlokasi di Pasuruan ke Filipina hendaknya bisa dijadikan pelajaran.
Kekhawatiran dunia usaha itu yang harus dijawab oleh pemerintah daerah melalui tindakan nyata berupa: (1) kemampuan menciptakan stabilitas keamanan di daerah – yaitu sejauh mana daerah mampu mengelola perbedaan (etnik, struktur sosial, ekonomi, agama) sehingga menjadi hilang potensi destruktifnya; (2) birokrasi yang luwes/lentur – responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Saat ini sebagian besar pelayanan publik, jenis dan volumenya tidak ditentukan oleh keinginan pelanggan, tetapi oleh peraturan perundangan. Legislatif dalam membuat undang-undang bukan merupakan respon dari permintaan masyarakat, melainkan respon terhadap para pendukungnya. Perlu diingat beberapa pelanggan terutama dunia usaha mungkin tidak menginginkan pelayanan standar; (3) kemampuan memberikan insentif berupa ROI yang kompetitif – hingga sekarang ini masih sedikit pemeintah daerah yang mempunyai pengalaman dan kemampuan menciptakan iklim investasi yang mampu menghadirkan ROI yang kompetitif karena birokrasi pemerintah daerah masih sangat rendah sense of entrepreneurshipnya. Pemerintah daerah dan pusat yang masih kental mindset birokratikya lebih memfokuskan perhatiannya pada masukan (penerimaan) bukan pada hasil.
Dalam perspektif pemerintahaan entrepreneurial memberikan pelayaan publik yang efektif dan efisien adalah merupakan tujuan, sedangkan pendapatan daerah adalah akibat dari kemampuan menyajikan layanan tersebut. Ini yang harus menjadi rule of thumb. Pemerintah baik pusat maupun daerah sekarang masih belum terbebas dari mindset masa lalu. Pengalaman masa lalu telah menjadi semacam penjara dan menghambat pembaruan kode genetik, terutama pengalaman sukses dalam memelihara dan mewujudkan keinginan pemerintah di masa lalu. Kode genetik organisasi ini mencakup kepercayaan, nilai-nilai, norma tentang bagaimana memotivasi orang, membangun keseimbangan antara kerjasama dan persaingan internal, menata hubungan antara atasan dan bawahan yang mengarah terbentuknya sukses di masa lalu.
Responsif terhadap lingkungan yang berubah
Lingkungan pemerintahan sudah berubah, demokratisasi di segala bidang telah menjadi kecenderungan yang tidak terlawan. Keinginan masyarakat sekarang ini adalah Pemerintah (pusat dan daerah) harus terbebas dari pengalaman masa lalu. Ini artinya di jajaran birokrasi diperlukan hijrah mental.
Hijrah mental penting untuk menghindari ortodoksi, ini bisa dilakukan dengan mengembangkan kemampuan melihat ke depan seperti apa layanan publik yang dikehendaki masyarakat dengan menggunakan lensa wide angle dan multiplicity lens agar horisonnya menjadi luas dan dapat melihat dari berbagai facet.
Hijrah menal di jajaran birokrasi sekarang masih belum terjadi paling tidak dalam perspektif otonomi. Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan komponen penting dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dipahami hanya sebatas sebagai instrumen pemerataan bukan sebagai instrumen untuk membangun rasa bertanggungjawab pemerintah daerah kepada rakyatnya. Angka-angka alokasi DAU untuk daerah tidak memberikan motivasi kepada daerah untuk meningkatkan pelayanan publik secara efektif dan efisien.
Perhitungan DAU hanya didasarkan pada: (1) kebutuhan wilayah otonomi Daerah – dihitung berdasarkan perkalian antara Pengeluaran Daerah Rata-Rata (PDRR), dengan penjumlahan Indeks penduduk, luas Daerah, harga banguan dan kemiskinan relatif; (2) potensi daerah - yang dihitung berdasarkan perkalian penerimaan daerah rata-rata dengan penjumlahan dari indeks industri, sumber daya alam dan indeks sumber daya manusia.
Mestinya DAU itu diberikan dengan menggunakan indikator yang mengarah pada perbaikan kualitas hidup manusia (human development index – HDI) di daerah. Yaitu sejauh mana daerah mampu membuahkan prestasi dalam meningkatkan harapan hidup bayi lahir dan pengurangan angka kematian ibu saat melahirkan, tingkat melek huruf penduduk dewasa, meningkatkan indeks pendidikan, indeks kualitas hidup, menyediakan kesempatan kerja dan penurunan pengangguran, penurunan kriminalitas, kemampuan menciptakan investasi dan membukukan neraca sumber daya alam yang sustainable.
Bila ini dijadikan persyaratan untuk penerimaan DAU tidak mustahil akan memicu persaingan yang positif antar pemerintah daerah untuk menghadirkan pelayanan publik yang terbaik. Pada gilirannya akan memicu arus balik investasi dari pusat ke daerah. Investor hanya butuh tiga hal yaitu stabilitas keamanan yang terjamin, birokrasi yang luwes, dan ROI yang kompetitif.
Kebanyakan Pemerintah Daerah sekarang ini menganggap persoalan utama yang dihadapi yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi adalah bagaimana menciptakan dan meningkatkan pendapatan asli daerah agar bisa membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Ini adalah cara pandang yang keliru. Pemerintah daerah sebenarnya sedang menghadapi organizational change, yaitu dituntut untuk berubah dari kondisi sekarang ke kondisi yang lebih baik untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Perubahan tersebut paling tidak harus mencakup empat tataran yaitu: (1) pembenahan sumber daya manusia – yang diarahkan pada peningkatan skill dan ability agar pemerintah daerah tersebut memiliki keunggulan kompetitif; (2) penataan fungsi-fungsi organisasi agar mampu menghadapi lingkungan yang sama sekali baru – terutama bagaimana menarik kalangan dunia usaha untuk berinvestasi di daerah; (3) peningkatan kemampuan teknologi – dengan kemampuan teknologi yang dimiliki memungkinkan organisasi pemerintah daerah memiliki kapasitas untuk mengubah dirinya sendiri untuk mengeksploitasi peluang yang ada; dan (4) pembenahanan kemampuan organisasi – melalui desain struktur dan budaya organisasi agar lebih sesuai dengan medan yang dihadapi. Organisasi dapat memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber-sumber fungsional untuk memanfaatkan technological opportunity.
Perubahan organisasi sering melibatkan perubahan hubungan antara orang dan fungsi karena ada tuntutan guna meningkatkan kemampuan organisasi untuk menciptakan nilai. Mengubah organisasi yang tadinya berwatak birokratik menjadi berwatak entrepreneurial adalah pekerjaan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah sekarang ini. Perubahan itu hanya mungkin dilakukan dengan reengineering dan inovasi. Reengineereing melibatkan pengkajian dan penataan ulang proses penyelenggaraan pemerintahan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Fokus reengineering ini pada dua bidang utama yaitu fungsi dan proses.
Organisasi pemerintahan daerah yang ada sekarang yang merupakan warisan lama cenderung seragam tidak mungkin mampu memaksimalkan pelayanan publik dan men-generate dan meng-create sumber-sumber pendapatan asli daerah. Untuk itu perlu disesuaikan dengan medan yang dihadapi. Pemerintah Daerah yang ingin menarik investor untuk membangun bisnisnya di daerah, perlu memulai reengineering proses penyelenggaraan pemerintahan dengan mengajukan pertanyaan kepada pelanggan utamanya dalam hal ini adalah kalangan dunia usaha, “Proses penyelenggaraan pemerintahan seperti apa yang mampu memberikan iklim kondusif bagi perkembangan dunia usaha?” Ketika pemerintah daerah sudah mendapatkan input dari kalangan dunia usaha, maka input tersebut digunakan sebagai bahan untuk melakukan reengineering proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Setelah dilakukan reengineering pemerintah daerah menjadi lebih responsif dan lebih efisien dalam memberikan pelayanan publik.
Inovasi adalah cara lain untuk melakukan perubahan radikal dalam organisasi. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dituntut untuk mengoptimalkan penggunaan skill dan sumber-sumber yang dimiliki untuk mengembangkan layanan baru yang lebih mengena pada keinginan pelanggan dengan biaya yang lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Pemerintah Daerah harus mampu menghadirkann sustainable public services advantages yang dibangun dari resources based (konsep ini dipinjam dari W. Keegan. 1997, Barlett. 1997, dan Goshal 1997) yang mengutamakan kompetensi dalam bersaing berbasis pada kekuatan sendiri. Bagaimana menciptakan inovasi masa depan melalui sumber daya yang dimiliki oleh organisasi untuk dapat ditingkatkan kapabilitasnya dalam bersaing melalui pemilihan kompetensi inti sehingga dapat diciptakan suatu strategi hambatan buat para pesaing berupa kesulitan untuk ditiru.
Pemerintah Daerah harus memperhatikan tiga aspek yaitu: (1) aspek sumber daya, (2) aspek faktor Keberhasilan, dan (3) aspek proses belajar. Pemerintah Daerah harus mampu mengeksploitasi sumber daya intangible dan very intangible sebagai daya tarik untuk memikat kalangan dunia usaha. Sumber daya intangible ini mencakup ketrampilan aparat Pemda, efesiensi pelayanan dan kualitas pelayanan. Sedangkan sumber daya very intangible mencakup moral aparat pemda, reputasi di mata pelanggan dalam hal ini masyarakat, dan reputasi di mata para pelaku ekonomi.
Aspek kedua adalah Faktor Keberhasilan, ini terdiri dari: (1) faktor ilmu pengetahuan, (2) faktor kohesi sosial, (3) faktor infrastruktur, (4) faktor konektivitas, dan (5) faktor produktivitas.
Pemerintah Daerah harus mampu menunjukkan kepada kalangan dunia usaha sampai sejauh mana dirinya itu bisa mengelola human capital, structural capital dan relational capital yang ada dalam wilayahnya. Human capital ini berkaitan dengan kualitas skill dan capability tenaga kerja yang ada di wilayah Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Structural capital bertautan dengan sejauh mana Pemerintah Daerah itu mampu mengelola unsur-unsur dan fungsi organisasi secara efektif dan efisien. Relational capital berhubungan dengan kemampuan membangun jejaring (network) di dalam organisasi atau di dalam kawasan serta hubungannya dengan dunia internasional.
Faktor keberhasilan kedua adalah kohesi sosial. Faktor kohesi sosial suatu organisasi atau kawasan adalah paparan tentang kebiasaan, sikap hidup, etos kerja, etika dan hubungan-hubungan yang tumbuh di dalam organisasi maupun kawasan, serta bagaimana itu semua dikelola. Itu semua akan menghasilkan trust. Kohesi sosial yang kuat akan menghasilkan high trust society yang nampak pada penghormatan pada hukum dan aturan main yang disepakati bersama. Sebaliknya kohesi sosial yang rendah akan menghasilkan low trust society, yang ditandai dengan sering munculnya penyalahgunaan public role, resources, dan penggunaan pengaruh politik yang tidak dibenarkan dalam peraturan perundangan tetapi kerap kali dilakukan oleh pemerintah atau swasta.
Faktor keberhasilan ketiga adalah infrastruktur yang mencakup infrastruktur fisik, struktural dan sumber daya manusia. Faktor keberhasilan keempat adalah konektivitas, yakni sejauh mana Pemerintah Daerah itu mampu menjadikan daerahnya sebagai kawasan terbuka sehingga memungkinkan terjadinya interkoneksi dengan kawasan lain yang membentuk sinergi. Faktor keberhasilan kelima adalah produktivitas, yaitu jumlah total barang dan jasa yang dikreasikan atau diinovasikan di sutau kawasan, serca efisiensi yang dapat dicapai. Ini penting untuk menunjukkan keunggulan daya saing suatu daerah.
Menciptakan entrepreneurial governance
Pemerintah Daerah yang mampu menghadirkan sustainable public service advantage adalah pemerintahan yang memiliki mindset entrepreneurial. Ada tiga ciri mindset pemerintahan entrepreneurial yang ditunjukkan ke dalam perilaku yaitu: (1) initiative taking, (2) the organizing and reorganizing of social/economic mechanism to turn resources and situation to practical account, (3) acceptance of risk or failure. Satu hal yang melekat dalam mindset entrepreneurial adalah adanya komitmen yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran.
Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan entrepreneurial adalah pemerintah daerah yang mampu menciptakan dan membangun visi dari yang sama sekali tidak ada menuju sesuatu yang dicita-citakan dan sekaligus bisa diwujudkan. Ini adalah suatu tindakan kreatif kolektif yang dipandu oleh misi, tujuan organisasi dan strategi yang digunakan untuk mewujudkan misi dan tujuan tersebut.
Salah satu mindset entrepreneurial adalah initiative taking. Pemerintah Daerah disini harus mampu mengambil prakarsa untuk menghadirkan inovasi pelayaan publik terutama untuk dunia usaha. Salah satunya adalah memperkenalkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.
Persaingan pemberian pelayanan ini akan memberikan keuntungan bagi yang melayani dan yang dilayani yaitu akan tercipta efisiensi secara agregat. Keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah efisiensi yang lebih besar yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan daerah itu sendiri. Kompetisi akan memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk merespon kebutuhan pelanggannya. Satu hal terpenting dari kompetisi adalah kemampuannya menghargai inovasi, sementara monopoli melumpuhkannya. Untuk pegawai pemerintah daerah kompetisi itu akan membangkitkan rasa harga diri dan semangat juang – yaitu bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat.
Agar pemerintah daerah mampu menunjukkan kinerja yang efisien harus mengubah orientasinya dari orientasi biaya ke orientasi hasil (outcome). Lembaga yang bekerja atas dasar masukan (input) jarang sekali mau berusaha keras untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik. Agenda penting bagi Pemerintah Daerah adalah mengukur hasil kinerjanya dari waktu ke waktu dengan standar yang telah disepakati bersama (antara pemerintah dengan pelanggannya). Kegagalan pemerintah yang masih menggunakan mindset birokratik adalah tidak pernah mengukur hasil kinerjanya, maka jarang sekali mampu mencapai keberhasilan.
Pengukuran kinerja pemerintahan dalam entrepreneurial governance memungkinkan terjadinya proses perbaikan yang berkesinambungan dan Pemerintah Daerah menjadi lentur dalam menyesuaikan strategi pelayanan masyarakat.
Dengan model pengendalian strategi pelayanan tersebut pemerintah daerah dapat mengambil mafaat diantaranya adalah:
1. dapat membedakan keberhasilan dengan kegagalan
2. dapat melihat keberhasilan dan kegagalan dan menghargainya.
3. dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalan
4. dapat mengenali kegagalan dan memperbaiki kegagalan
5. dapat menunjukkan hasil dan memenangkan dukungan masyarakat.
Target peningkatan PAD dan kekhawatiran dunia usaha
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam era otonomi akan dijadikan tolok ukur gengsi Pemerintah Daerah. Menjelang dan beberapa minggu setelah otonomi daerah diterapkan secara serentak telah menimbulkan persoalan. Aneka pungutan baik yang berupa pajak maupun retribusi daerah menjadi suatu tren. Pemerintah daerah mulai mempersoalkan aset-aset yang mempunyai nilai ekonomis bagi daerah lain tetapi asset tersebut berada di daerahnya, untuk contoh sumber air minum, tempat-tempat pariwisata dan kawasan industri. Hal ini bisa memunculkan pertikaian perbatasan antar daerah yang menyangkut wilayah yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Daerah yang merasa dirugikan akibat adanya kegiatan ekonomi di daerah tetangganya merasa berhak untuk meminta kompensasi yang diwujudkan dengan pungutan.
Bila hal tersebut terjadi maka akan menimbulkan suasana berusaha yang tidak kondusif di daerah. Kalangan pengusaha sudah mengkhawatirkannya. Mereka berharap pelaksanaan otonomi daerah hendaknya diikuti dengan penciptaan situasi kondusif bagi investor. Pemerintah Daerah harus membuat administrasi pemerintahan yang teratur, konsisten, dan bersih dari KKN. Kalangan pengusaha juga menuntut adanya jaminan kepastian hukum dan keamanan, sehingga mereka bisa tenang menjalankan usahanya.
Situasi ekonomi yang belum kondusif bagi dunia usaha hendaknya oleh Pemerintah Daerah dijadikan titik masuk menggiring arus investasi ke daerah dengan jalan membangun iklim berusaha di daerah lebih kondusif. Tugas menciptakan iklim berusaha yang kondusif bukan semata-mata tugas pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah pun bisa berkontribusi. Kestabilan politik di daerah dan adanya daya tarik ekonomi bisa dijadikan modal untuk menarik investor lokal maupun luar negeri.
Menciptakan iklim kondusif memang bukan pekerjaan mudah. Hampir sebagian besar pemerintah daerah belum berpengalaman dan belum memiliki mindset entrepreneurial. Mewirausahakan birokrasi itu butuh waktu. Sebenarnya pada era Orde Baru pemerintah daerah sudah mulai melakukan ‘pemerintahan wirausaha’ sayangnya misi peningkatan pelayanan publik itu terdistorsi oleh semangat KKN yang kelewat besar. Contoh yang paling gamblang adalah dalam penyelenggaraan tukar guling dan pengerjaan proyek-proyek BOT di masa lalu. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.
Model tukar guling yang semestinya menghasilkan laba bagi pemeritah daerah dan dijadikan wahana untuk peningkatan utilitas publik terdistori oleh KKN. Sudah saatnya mulai dipikirkan seluruh pelayanan publik itu menguntungkan individu dengan membuat customization public service. Customization public service itu menuntut tiga syarat: (1) pelayanan yang bisa di’customized’ adalah pelayanan untuk barang dan jasa privat dan menguntungkan penggunanya; (3 ) yang tidak membayar dapat dipisahkan dalam menikmati manfaatnya; dan (3) pungutan itu dapat dilakukan dengan efisien.
Aparat Pemerintah Daerah sekarang ini semakin dituntut untuk mampu menghitung benefit dari pembelanjaan sebagaimana suatu investasi. Harus mampu mengenali pengeluaran apa saja yang bisa memaksimumkan pendapatan. Di sini aparat Pemerintah Daerah dituntut untuk memiliki mentalitas investasi. Untuk mendapatkan uang diperlukan uang. Ini yang harus dipahami.
Dalam kaitan dengan peningkatan pendapatan asli daerah sudah semestinya pemerintah daerah itu memperhatikan cetak biru kebijakan daya saing nasional terutama yang berhubungan dengan Industry-wide policies yang mencakup enam bidang kebijakan yaitu:
1. Macroeconomic Environment. Pemerintah Pusat harus mem-backup lingkungan ekonomi makro yang stabil dengan mewujudkan nilai tukar yang stabil, tingkat bunga bank yang bersaing, dan tingkat pajak yang reasonable bagi pelaku usaha. Pemerintah Daerah juga harus bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk memonitor dengan cermat perkembangan dalam sektor industri dan perdagangan, neraca perdagangan dan pengaruhnya terhadap neraca pembayaran
2. Physical infrastructure. Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas secara memadai di daerah akan menjadi daya tarik bagi investor domestik maupun asing, terutama infrastruktur yang menghubungkan aktivitas ekonomi domestik dengan aktivitas ekonomi di luar negeri.
3. Regulatory and business environment. Lingkungan bisnis dan kebijakan merupakan elemen penting dari country cost. Lingkungan bisis dan kebijakan oleh para investor sering dianggap sebagai fakto penyulit dalam investasi. Pemerintah Daerah harus mampu menghadirkan lingkungan bisnis dan kebijakan yang memberikan daya pikat kepada investor. Pemeritah Daerah harus tidak pernah bosan berkonsultai dengan pelaku dunia usaha untuk mendengarkan apa yang menjadi concern mereka, mengidentifikasi apa yang menjadi bottleneck di wilayahnya, dan memberikan jaminan revisi kebijakan bila terjadi pengambilan kebijakan yang salah.
4. FDI Policy. Pemerintah Daerah harus rajin melakukan promosi yang efektif, melayani apa yang menjadi kebutuhan investor, memberikan layanan yang cepat dan efiien, mengembankan kemampuan lokal, memanfatkan FDI untuk pengembangan industri baru dan untuk memaksimalkan pengembangan teknologi.
5. Human resource development. Daerah secara berkesinambungan harus mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kerja yang ada di daerahnya agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Data base ketenagakerjaan yang akurat sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh dunia usaha harus bisa dihadirkan oleh pemerintah daerah.
6. Promoting regional potentials and regional industrialization. Dengan membesarnya kewenangan daerah untuk mengelola urusan rumahtangganya memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk membangun kerjasama dengan tetangganya dalam rangka melakukan industrialisasi di suatu kawasan. Model-model pusat pertumbuhan seperti SIJORI bisa dikembangkan pada daerah tingkat I maupun daerah tingkat II.
Bila ketentuan yang dipaparkan di atas itu bisa dipenuhi oleh Pemerintah Daerah adalah suatu keniscayaan akan terjadi arus balik investasi dari pusat ke daerah dan akan terjadi proliferasi kewirausahaan di daerah dalam skala yang masif.
Sumber : http://fadelmuhammad.org
Minggu, 18 Januari 2009
Otonomi: Batu Uji Kemampuan Pemerintah Daerah Sebagai Pengembang Industri di Daerah
Langganan:
Comment Feed (RSS)





|