Senin, 29 Desember 2008

Transparansi dan Partisipasi di daerah


Pemerintahan daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah merupakan tingkatan pemerintahan yang berlandaskan pada hukum karena komitmen integralistik yang selalu memandang Pemerintahan Daerah secara kewilayahan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Aspirasi daerah telah melahirkan suatu ketetapan hati untuk memperlihatkan adanya keharusan untuk mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang dapat menjalankan sistem pemerintahan dengan meminimalkan pengaruh pemerintahan pusat dan memaksimalkan peran pemerintahan daerah pada daerah yang bersangkutan.

Penekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dengan penekanan pada unsur pemerataan dan keadilan telah melahirkan suatu pola pikir untuk lebih mewujudkan pemberdayaan pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengatur, dan menata daerahnya tanpa adanya pendiktean dari pemerintah pusat.

Sementara itu, setelah memperoleh legitimasi dari lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah di Indonesia berlomba-lomba menerapkan undang-undang tersebut di daerahnya masing-masing, untuk diimplementasikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, guna mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).

Boleh dikata bahwa tantangan utama yang dihadapi Pemerintahan Daerah di Indonesia adalah bagaimana menciptakan sebuah tata pemerintahan yang baik (good governance). Tantangan tersebut muncul karena banyaknya persoalan nyata yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat yang belum dapat diselesaikan. Banyaknya persoalan yang belum dapat diatasi tersebut sebagian disebabkan oleh lemahnya fungsi tata pemerintahan yang baik, yang berimbas pada buruknya sistem manajemen pengelolaan pemerintahan. Pemerintah Daerah seharusnya dapat menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, dan kebijakan yang diambil bersifat transparan.

Untuk menunjang terciptanya pemerintahan yang baik, salah satunya dengan menganut asas keterbukaan. Asas keterbukaan ini disebutkan dalam Pasal 20 (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Asas keterbukaan ini, oleh beberapa pakar, lembaga maupun peraturan perundang-undangan kemudian diperluas maknanya ataupun diinterpretasikan dengan kata transparan, kemudian ditambahkan kata partisipasi.
Asas transparansi diperlukan untuk menjamin keterbukaan Pemerintah Daerah dalam menyediakan informasi publik, yang memungkinkan setiap orang dalam daerahnya, dapat mengetahui proses perencanaan, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, sampai pada pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah daerah. Sedangkan asas partisipasi dimaksudkan agar masyarakat dapat terlibat secara sadar dan nyata dalam serangkaian proses pembangunan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, legalisasi transparansi dan partisipasi menemukan urgensinya.

Dalam perkembangannya, beberapa daerah di Indonesia menganggap prinsip transparansi dan partisipasi harus diterapkan secara nyata untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah Daerah dan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menentukan nasib daerah kedepan. Berdasarkan pemikiran tersebut ada daerah yang berinisiatif untuk membentuk suatu lembaga atau komisi independen yang khusus dibentuk untuk menegakkan prinsip transparansi dan partisipasi tersebut.

Beberapa daerah telah berinisiatif membentuk suatu komisi untuk menegakkan prinsip transparansi dan partisipasi tersebut. dibentuk Berdasarkan Perda Kabupaten. Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Kabupaten Bulukumba, dibentuklah Komisi Transparansi Dan Partsipasi ( KTP ), yang keanggotaannya berasal dari masyarakat yang diseleksi secara terbuka dan transparan, untuk menjamin kualitas dan independensi anggotanya.
Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat membawa angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lembaga ini harus bisa menjadi mediator yang netral dan independen antara pemerintah dan masyarakat, tujuannya agar antara pemerintah dan masyarakat dapat tercipta persepsi yang sinkron dan sinergis terhadap arah pembangunan daerah nantinya.

Namun disatu sisi timbul pertanyaan bahwa mampukah lembaga ini berfungsi sebagaimana tujuan dibentuknya, mengingat pelaksanaan otonomi daerah yang masih baru dan budaya pemerintah daerah yang masih anti dengan kritikan dan masih adanya sifat-sifat pemerintahan yang cenderung tertutup dan tidak mau melibatkan.

Pada kenyataannya, pelibatan masyarakat misalnya dalam pembentukan dan pemberlakuan Perda, oleh Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mengadopsi prinsip good governance, khususnya proses sosialisasi kepada masyarakat. Kurangnya sosialisasi menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kegiatan pemerintahan di daerahnya sendiri sehingga kesempatan untuk berpartisipasi menjadi kecil, padahal pelibatan partisipasi masyarakat akan menentukan kualitas dan daya keberlakuan suatu produk hukum. Pemberlakuan perda yang tanpa melalui proses sosialisasi, pada prinsipnya merupakan salah satu indikasi lunturnya karakteristik prinsip demokratisasi sebagaimana yang dianut dalam Otonomi Daerah. Bahkan kurangnya kegiatan sosialisasi Perda kepada masyarakat dapat dikategorikan sebagai tindakan yang masyarakat dalam setiap pengambilan dan pelaksanaan keputusan. Hal inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah atau tugas berat bagi lembaga ini untuk menegaskan urgensi eksistensinya.
Juga mengingat lembaga ini belum begitu populis dimata masyarakat sehingga mengharuskan anggota Komisi Transparansi Dan Partisipasi untuk bekerja secara profesional, independen, mandiri, dan bebas dari tekanan dan pengaruh-pengaruh luar. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, komisi ini harus bekerja sama dengan instansi-instansi terkait lainnya sehinga terjalin kerja sama yang baik, serta dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya tidak terjadi tumpang tindih satu sama lain dan tetap mengacu pada peraturan serta tujuan dibentuknya.

Baca Selengkapnya.....

Kamis, 25 Desember 2008

tahun ini, seperti tahun lalu, aku tak membuat resolusi

gegap gempita suara terompet, kembang api yang berpendaran mencerahkan langit. hingar-bingar pagelaran musik di hotel berbintang. dan keriuhan ucapan tahun baru via sms, blog dan banner di setiap depan perkantoran.

semua berpesta. suara denting gelas bersulang, menenggak kahlua. semua menikmatinya. meluapkan kegembiraan. sampai puncak.

sebenarnya sedang merayakan apa? kesuksesan?

bisa jadi. kalau mereka mengukurnya dengan keberhasilan melampaui target yang di tetapkan yang minimal delapan: punya kantor/usaha sendiri, memiliki honda jazz warna putih, berumah di panakukang residence di tengah kota.

namun di luar, makin banyak anak-anak yang terbata-bata mengeja kata. banyak ibu-ibu rumah tangga yang masih takut mencolokkan selang gas ke kompornya dan memilih mengantrikan jerigen-jerigen yang dinomori sampai tiga digit.

banyak teman-teman saya yang masih sibuk wawancara kerja sampai berbusa-busa. lebih ke sana lagi, hutan makin habis, bolongnya ozone makin menganga, laut makin tercemar racun. koruptor? maling?

tahun ini, seperti tahun lalu, aku tak membuat resolusi. bukan tak punya target atau harapan. aku cuman tak siap kecewa saja.

terlalu jauh menurutku, aku hanya ingin bisa membaca buku sehari satu. dan orang di sampingku men senyumi ku.



Baca Selengkapnya.....

Selasa, 16 Desember 2008

BHP Baik kok.....


Semangat otonomi ternyata tak hanya menyentuh bidang pemerintahan. Pendidikan, perlu pula menunjukkan independensinya bila ingin menjadi lokomotif kemajuan bangsa. Perlunya sebuah Badan Hukum Pendidikan (BHP) ialah untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu di Indonesia. Sesungguhnya, lembaga penyelenggara pendidikan di seluruh dunia berbentuk badan hukum. Maka sudah saatnya pendidikan nasional menata kembali status lembaga pendidikan agar memiliki badan hukum. Selama ini, pendidikan Indonesia mutunya rendah karena masih sulit untuk mengembangkan diri. Jika kondisi ini terus dipaksakan, kemampuan bersaing kita akan semakin berkurang.

kelebihannya pendidikan berbadan hukum
Lembaga pendidikan yang berbadan hukum dapat melaksanakan tindakan hukum, bertanggung jawab secara hukum, membuat keputusan yang berimplikasi hukum, dan dapat dikenai sanksi hukum. Sebagai lembaga yang meluluskan peserta didik, maka ijasah yang dikeluarkannya harus memiliki kekuatan hukum. Tanpa penataan yang jelas, akan banyak masalah yang timbul berkaitan dengan hal-hal tersebut.

hubungan RUU BHP ini dengan otonomi perguruan tinggi
RUU BHP ini sejak dari persiapan sudah terbayang, dengan memberikan otonomi maka dari sisi kekuatan dan kedudukan badan hukum maka perguruan tinggi bisa mempunyai legalitas. Misalkan menerima dana, kemandirian, serta tidak lagi terkooptasi oleh bagian-bagian birokrasi. Terlebih, otonomi akademik memang menjadi ciri dari perguruan tinggi.


Dengan adanya RUU BHP ini yang dulu perguruan tinggi merupakan perpanjangan tangan birokrat, yang selama ini tinggal melaksanakan saja, memang ada yang menjadi cemas. Pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat.

RUU BHP ini membuat perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk mandiri secara pedagogik dan akademik, juga mandiri terhadap menerima berbagai dukungan serta bertanggung jawab terhadap yang dilakukan secara hukum.

Pemerintah tak sepenuhnya lepas tangan
Jika dilihat data tahun demi tahun, dukungan pemerintah terutama untuk pendidikan tinggi tidak pernah kurang, selalu naik dari tahun ke tahun baik mengenai perkapitanya, jumlah beasiswa maupun bantuan untuk perguruan tinggi. Persoalannya dengan adanya UU BHP, kita ingin dana yang diberikan ini lebih efektif dan digunakan tepat guna oleh perguruan tinggi tersebut. Itu sebabnya diperlukan satu badan hukum
yang memungkinkan menerima bantuan pemerintah dan mempertanggungjawabkannya secara akuntabel, karena bisa diperiksa oleh akuntan publik atau dewan audit dan sebagainya.
Pemerintah ingin memastikan penggunaan dana masyarakat dan dana pemerintah ini harus dibuktikan dengan publikasi secara transparan, serta menjaga jangan sampai beban masyarakat untuk pendidikan ini bertambah. Pemerintah pun lebih dijamin dengan mengeluarkan dua pertiga pembiayaan pendidikan di BHP dari pemerintah, makin besar skalanya, makin tinggi mutunya, maka makin besar pula dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi tersebut.
Pemerintah juga menanggung dua per tiga dari biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan. Sedangkan, yang ditanggung peserta didik itu hanya sepertiga dari biaya operasional, bukan sepertiga dari seluruh biaya itu. Bahkan beasiswa yang 20 persen untuk mahasiswa kurang mampu itu ditanggung negara sepenuhnya seperti diamanatkan RUU BHP

Baca Selengkapnya.....

Senin, 15 Desember 2008

Laporan Keuangan Partai Politik


Kelalaian partai politik dalam pembuatan laporan keuangan, kewajiban audit, serta pelaporan keuangan ke KPU tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai gejala kelalaian administratif biasa. Setidaknya terdapat dua hal yang dapat menjadi persoalan berkaitan dengan kelalaian ini.

Pertama, hilangnya hak kader partai, pengurus, serta konstituen partai untuk mengetahui kondisi keuangan partai (akuntabilitas internal).
Kedua, hilangnya hak publik secara luas untuk mengetahui dampak penerimaan dan belanja partai terhadap kebijakan publik (akuntabilitas eksternal). Soal kedua sangat erat berkaitan dengan peran partai politik yang selama ini dinilai dominan berpengaruh dalam konteks kebijakan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

Akuntabilitas internal

Laporan keuangan partai politik seharusnya dapat menjadi alat kontrol secara internal terhadap berjalannya organisasi partai. Benarkah otoritas keuangan partai telah mempertanggungjawabkan semua pendapatan partai? Atau ada sumber penghasilan lain yang tidak tercatat atau dibuat kabur?



Partai politik dilarang menerima sumbangan dari beberapa sumber pendanaan, seperti pihak asing, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, yayasan, dan lembaga swadaya masyarakat, menerima sumbangan yang tidak jelas identitasnya atau melebihi batasan, serta mendirikan badan usaha. Partai yang melanggar ketentuan ini dapat diganjar dengan hukuman dari teguran terbuka hingga larangan mengikuti pemilu berikutnya atas perintah pengadilan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Partai Politik).

Konsekuensi yang bakal diterima akibat kelalaian pengurusan keuangan secara internal dapat fatal bagi partai politik. Dengan adanya laporan keuangan, pengurus atau kader partai dapat mengontrol jalannya aliran uang yang masuk dan keluar dari rekening partai politik. Kalau selama ini politikus sering mengeluh dengan besarnya “setoran” ke partai, laporan keuangan dapat menjadi tolak ukur apakah semua setorannya tercatat atau gelap lantaran tidak bisa ditelusuri di dalam laporan keuangan. Jika laporan keuangan partai politik tidak memuat laporan sumbangan dari para politikus secara perorangan, itu sama saja dengan mengatakan perimbangan kenaikan gaji dan tunjangan DPR ataupun DPRD dengan alasan membangun konstituen hanyalah isapan jempol.

Hal lain yang berkaitan dengan akuntabilitas internal partai adalah keterkaitan partai dengan kandidat pada saat pemilu. Kasus Pemilu 2004 menunjukkan bahwa pemisahan antara rekening partai dan rekening dana kampanye belum dipatuhi benar. Hal ini, selain disebabkan oleh kapasitas pengaturan keuangan partai yang masih lemah, karena adanya upaya menggunakan celah dalam aturan pemilu. Meski sudah ada ketentuan pemisahan rekening partai dan rekening kampanye partai ataupun kandidat, tetap saja ada dana dari rekening partai politik masuk ke rekening dana kampanye partai ataupun kandidat dengan jumlah yang sangat besar. Pada Pemilu 2004, misalnya, pasangan Wiranto-Salahuddin menerima Rp 30 miliar dari rekening Partai Golkar dan pasangan Megawati-Hasyim menerima Rp 2,6 miliar dari rekening PDI Perjuangan. Mengalirnya sumbangan dari partai ke kandidat juga dapat terjadi dalam konteks pemilihan kepada daerah. Sumbangan yang sangat besar dari rekening partai tentu sangat mengkhawatirkan. Hal ini dapat menafikan aturan mengenai pembatasan jumlah sumbangan karena siapa pun dapat menyumbang melalui partai politik tanpa mengenal batasan.

Akuntabilitas eksternal

Partai politik memiliki peran yang cukup signifikan dalam dunia perpolitikan kita. Hampir setiap pergeseran posisi kekuasaan, baik di tingkat menteri, kepala dinas di daerah, maupun direktur badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, ditentukan oleh komposisi keterwakilan partai politik. Perimbangan kekuatan mencapai ekuilibrium antara eksekutif dan legislatif juga didasari perimbangan suara partai. Di beberapa daerah bahkan ada politikus yang vulgar menuntut porsi APBD (baca: proyek APBD) berdasarkan komposisi suara partai. Hal ini memunculkan pertanyaan: di manakah posisi keuangan partai politik, baik di pusat maupun di daerah? Apakah ada dana dari perimbangan kekuasaan ini yang masuk ke rekening partai atau hanya cukup dinikmati elite? Mengalirnya dana politik dari proyek-proyek yang dibiayai dana publik dapat menjadi jebakan buat partai politik dalam menerima dana yang dilarang aturan.

Besarnya kemungkinan pelanggaran aturan pendanaan partai politik, baik dari segi penerimaan maupun pembiayaan, menyebabkan proses audit harus dilakukan. Ikatan Akuntan Indonesia telah menyiapkan standar audit khusus bagi partai politik dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan 45 (SAK-45), yang juga digunakan untuk audit keuangan organisasi nirlaba. Dengan adanya standar audit, publik dapat menilai laporan keuangan partai politik dari sisi kepatuhan terhadap aturan ataupun kewajaran dalam mempresentasikan pembukuan dan laporan keuangan partai politik. Auditor independen yang mengaudit juga dapat memberikan opini terhadap laporan keuangan yang ada, apakah sudah dipresentasikan secara wajar, wajar bersyarat, atau buruk sehingga tidak bisa diberi opini (disclaimer).

Sanksi

Prinsip pengaturan yang baik (good governance) harus juga turut didorong di lingkungan internal partai politik. Manajemen serta pertanggungjawaban keuangan secara internal harus dibudayakan dan dibuat terbuka agar menjadi sarana pertanggungjawaban partai terhadap kader, pengurus, dan konstituen partai. Partai juga harus secara berkala setiap tahun memberikan laporan keuangannya kepada KPU setelah diaudit.

Peran KPU sangat menentukan untuk mendorong kepatuhan partai politik dalam hal akuntabilitas keuangan. Terkait dengan kepatuhan memberikan laporan keuangan, KPU memiliki kekuasaan menjatuhkan sanksi administratif kepada partai politik (UU Nomor 10 Tahun 2008). Partai politik yang tidak melaksanakan kewajiban membuat pembukuan dapat dikenai sanksi teguran, dan partai yang tidak memberikan laporan keuangan dapat dikenai sanksi penghentian bantuan dari anggaran negara.

Baca Selengkapnya.....

Selasa, 09 Desember 2008

Capres/Cawapres Alternatif Dewan Integritas Bangsa


Dewan Integritas Bangsa???

DIB dideklarasikan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Pemuda Muhammadiyah, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Pusat Pemuda Katolik, Generasi Muda Buddhis Indonesia, Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Generasi Muda Khonghucu, dan Komunitas Anti Korupsi di Jakarta, Rabu, 7 Agustus 2008 di Museum Kebangkitan Nasional.

Pembentukan dewan ini adalah sebagai bentuk komitmen untuk mencintai Bangsa Indonesia dengan memilih pemimpin masa depan yang memiliki integritas memajukan Indonesia. Dewan akan memilih 45 tokoh dan bapak bangsa yang netral untuk menyeleksi 17 calon menteri untuk posisi Kabinet Indonesia Berintegritas (versi dewan) dan dua orang untuk posisi presiden dan wakil presiden.

Konvensi Capres Alternatif Dewan Integritas Bangsa
Melalui Dewan Integritas Bangsa (DIB), ada sekitar enam politisi menyatakan kesediaan mereka untuk mengikuti konvensi calon presiden alternatif yang diselenggarakan di 12 kota. rencana konvensi akan diadakan pada 19 Januari hingga 7 Maret 2009 di Yogyakarta, Padang, Surabaya, Denpasar, Medan, Banjarmasin, Makassar, Gorontalo, Ambon, Jayapura, Bandung dan Jakarta.

kompetisi politik menuju pemilihan presiden diprediksi akan berjalan seru dan sengit, karena bagi para sosok senior, pada 2009 adalah The Last Game dalam perebutan jabatan presiden. Pertanyaannya, bangsa kita membutuhkan presiden ataukah mencari pemimpin nasional yang kompeten, tangguh dan visioner?

Jawabannya adalah pemimpin sekaligus presiden yang kompeten, tangguh dan visioner. Maka tak salah jika DIB menjaring capres alternatif agar rakyat memiliki opsi lebih banyak lagi.

Para capres alternatif itu adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, Dr Rizal Ramli, Dr Yuddi Chrisnandi, Dr Marwah Daud Ibrahim, Bambang Sulastomo, dan Fadel Muhammad. Sementara Wiranto, Fadjroel Rahman, dan Ryamizard Ryacudu, yang juga diundang DIB, masih ragu-ragu.

Dari enam tokoh yang sudah menyatakan kesediaannya mengikuti konvensi calon presiden alternatif itu, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad adalah satu-satunya yang belum mendeklarasikan diri sebagai capres.


Terhadap langkah DIB ini, banyak mendapat dukungan dari beberapa elemen termasuk juga Partai. Partai yang mendukung konvensi itu antara lain Partai Buruh, Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI).

Konvensi capres versi DIB mengusung enam kandidat capres cukup ternama di negeri ini. Apalagi Indonesia sekarang sangat butuh pemimpin yang sesuai kebutuhan rakyat.

Bagaimanapun proses konvensi yang dilakukan DIB adalah suatu terobosan demokrasi yang tepat dilakukan saat ini untuk mencari calon pemimpin bangsa. Figur yang ada saat ini, terbukti tak mampu menyelesaikan persoalan rakyat secara efektif.

Harapannya, masyarakat bisa terus mengikuti konvensi DIB, sehingga memiliki referensi yang cukup dalam menentukan pilihan secara obyektif.

Konvensi DIB sebagai suatu gerakan inisiatif, sah-sah saja dilakukan dalam kerangka membangun demokrasi di Indonesia. Sebagai sebuah wacana mencari capres terbaik, gerakan inisiatif DIB perlu didukung dan dipahami sebagai langkah masyarakat madani dalam mengupayakan perbaikan kualitas demokrasi.

Baca Selengkapnya.....

Kamis, 04 Desember 2008

Fenomena Pemekaran Daerah

Tingkat akselerasi pemekaran daerah sejak tahun 2000 sampai 2007 dapat diibaratkan sama dengan tingkat percepatan berkembang biaknya bakteri amuba. Hanya bedanya, bakteri amuba bereproduksi untuk melestarikan eksistensi mereka. Sementara pemekaran daerah justru dapat mengancam kelangsungan keberadaan daerah pemekaran baru atau daerah induknya sendiri.

Penyebabnya, amuba berkembang biak secara tertib mengikuti hukum alam, sedangkan pemekaran daerah dilakukan dengan rekayasa para elite politik dan sering kali sarat dengan tarik-menarik kepentingan pribadi dan golongan.

Oleh sebab itu, para pemrakarsa dan pengambil kebijakan pemekaran daerah mungkin harus mencontoh cara bakteri amuba berkembang biak bila pemekaran ingin menjadi upaya peningkatan kehidupan masyarakat, yaitu tidak sekadar mengikuti prosedur dan aturan yang mungkin banyak kelemahannya, tetapi menerapkan dan memaknai aturan sesuai dengan semangat dibentuknya aturan tersebut.


Analogi di atas tidak berlebihan mengingat jumlah daerah yang mekar bila dihitung sejak 2000-2007 telah terjadi pertambahan 173 daerah otonom baru (7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kotamadya) sehingga dewasa ini terdapat 473 daerah otonom. Bahkan, kini telah menunggu di DPR 48 RUU baru pemekaran, termasuk 12 RUU yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR (Kompas, 30/1/2008).

Gelombang pemekaran daerah yang hanya memanfaatkan prosedur aturan yang tidak sempurna disertai kepentingan subyektif para elite daerah maupun di pusat mengakibatkan banyak pemekaran tidak menjamah kepentingan masyarakat. Berbagai studi yang dilakukan masyarakat, pemerintah, khususnya Departemen Dalam Negeri, membuktikan, pemekaran daerah sarat dengan berbagai persoalan sehingga sebagian besar dari daerah pemekaran dianggap gagal. Oleh karena itu, berbagai kalangan masyarakat, pemerintah, termasuk presiden, dan anggota DPR menghendaki agar dilakukan moratorium terhadap proses pemekaran.

Ladang bisnis

Sumber utama kegagalan pemekaran daerah adalah menjadikan pemekaran daerah sering kali hanya sebagai ladang bisnis politik para elite politik dan birokrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur pemekaran daerah, meskipun dianggap kurang sempurna, sebenarnya cukup ketat mengatur pemekaran.

Namun, karena nafsu untuk berkuasa lebih besar dari niat untuk menyejahterakan masyarakat, pemekaran hanya menjadi medan pertarungan kepentingan pribadi dan golongan.

Tidak jarang persyaratan pemekaran, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, dapat lolos berkat deal-deal politik yang sangat oportunistis dan pragmatis. Lebih-lebih pembuatan UU Pemekaran tidak terlalu sulit karena praktis hanya mengubah sedikit konsideran dan diktum dari UU yang telah ada.

Kalau semangat para pengambil kebijakan tidak berubah, meskipun PP No 129/2000 telah diganti dengan PP No 78/2007 yang lebih ketat persyaratannya, hal itu tidak menjamin pemekaran akan bermanfaat bagi masyarakat.

Gagasan moratorium bukan gagasan yang harus ditolak. Namun, penundaan pemekaran tidak hanya dilakukan demi penundaan itu sendiri. Kebijakan tersebut harus bersifat sementara mengingat pemekaran merupakan bagian dari strategi desentralisasi.

Dalam perspektif masyarakat di daerah, satu-satunya cara untuk memperoleh akses pelayanan publik dan akses keuangan hanya melalui pemekaran.

Oleh sebab itu, menunda pemekaran tidak berarti harus mematikan aspirasi daerah, melainkan perlu dilakukan dengan strategi serta niat yang benar, terutama membuat regulasi yang tidak merangsang daerah untuk mekar.

Kebijakan-kebijakan yang harus ditinjau kembali antara lain sebagai berikut. Pertama, kebijakan transfer fiskal (dana alokasi umum, dana bagi hasil, serta dana alokasi khusus), yang justru memberikan alokasi kepada setiap daerah baru. Kedua, tidak adanya kebijakan transisi, seperti kabupaten/kota administratif sebelum menjadi daerah otonomi penuh; bahkan daerah baru selalu harus disertai dengan pembentukan parlemen lokal.

Ketiga, diberlakukannya kebijakan yang sama mengenai jumlah minimal anggota parlemen lokal beserta kedudukan keuangan mereka. Keempat, penambahan unit-unit birokrasi daerah, termasuk eselonisasi yang dibiayai oleh pemerintah pusat.

Kelima, persyaratan jumlah daerah tingkat bawahnya (kabupaten/kota untuk provinsi dan kecamatan untuk kabupaten/kota baru) terlalu sedikit sebagai persyaratan pemekaran daerah baru, dan lain sebaginya.

Oleh sebab itu, dalam menata strategi pemekaran tidak mungkin memproyeksikan secara matematis jumlah daerah otonom yang ideal. Strategi pemekaran daerah harus didasarkan atas beberapa paradigma.

Pertama, pada tingkat kebijakan, pemerintah harus memerhatikan pembangunan daerah tertinggal serta mengembangkan pelayanan umum yang memuaskan masyarakat. Dalam hal ini patut disayangkan departemen sektoral seolah-olah tidak mempunyai tanggung jawab terhadap pemekaran.

Kedua, pada tataran kelembagaan sangat diperlukan peningkatan kapasitas pranata politik lokal, misalnya kaderisasi dan rekrutmen politik, demokratisasi internal partai di tingkat lokal. Ketiga, dalam periode moratorium sebaiknya pemekaran hanya dilakukan jika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ancaman terhadap keamanan nasional dan pertahanan.

Dengan belajar dari berbagai kekurangan dan harapan sebagaimana disebutkan di atas, strategi yang sangat penting bagi pemekaran daerah adalah mengubah paradigma pemekaran sebagai sarana memupuk kekuasaan menjadi sarana mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Baca Selengkapnya.....

Rabu, 03 Desember 2008

Konflik Hukum Suara Terbanyak

Hingga saat ini sedikitnya terdapat 9 partai politik (parpol) yang akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon legislatif (caleg) 2009 nanti. Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP dan PNBK. PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 % BPP namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut sedangkan PNBK menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan (dapil).


Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan mengenyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan Undang-Undang.


Lebih Demokratis
Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya.

Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi yang bagus antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempopulerkan diri dan meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil – seringkali dalam proses ini terjadi politik uang-- padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji ditengah masyarakat.

Melanggar UU
Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan dengan menggunakan nomor urut namun, penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain; pertama;. Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ).
Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.

Kedua; Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.

Ketiga; Dalam sistem suara terbanyak apabila caleg yang meraih suara terbanyak memiliki nomor urut besar maka caleg yang memiliki nomor urut kecil harus sukarela mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dengan konsekuensi kehilangan haknya dalam PAW. Dengan kata lain suara pemilihnya akan terbuang percuma.

Memang, partai masih mempunyai mekanisme Penggantian Alih Waktu (PAW) dengan jalan memecat kader yang membangkang namun, jalan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit. Pada pemilu 2004 yang lalu konflik seperti ini mendera Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebabkan penetapan calon suara terbanyak terkatung-katung. Seperti kasus yang terjadi di Sumatera Barat dimana beberapa caleg yang mendapatkan suara terbanyak tidak dilantik hingga saat ini karena calon yang harus di PAW menduduki posisi ketua atau sekretaris partai. Padahal yang harus menandatangai proses PAW adalah ketua dan sekretaris parpol tersebut dan tentu saja mereka tidak rela di PAW atau paling tidak memperlambat proses PAW hingga batas waktu perebutan kursi berakhir.

Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia.

Baca Selengkapnya.....

Fadel Muhammad: Pamor Golkar Menurun

Deklarasi Sri Sultan Hamengku Buwono X maju dalam bursa pencalonan presiden pada pemilu 2009 mendatang mengundang polemik tersendiri dalam partai Golkar. Sebelum deklarasi Sultan, Fadel Muhammad, salah satu tokoh Partai Golkar telah mengusulkan kepada Jusuf Kalla untuk bersandingan dengan Sultan sebagai wakilnya, namun Kalla ragu-ragu menerima usulannya, apalagi saat ini pamor politik Golkar semakin menurun.

“Ketika Sultan mencapreskan diri, kami juga tetap mendukung untuk mendongkrak popularitas Golkar yang akhir-akhir ini menurun,” kata Fadel, di Yogyakarta, Rabu (19/11)

Menurut dia, seiring dengan perkembangan yang berlangsung, dengan adanya deklarasi Sultan tersebut, partai Golkar menjadi dilematis. Sebab hal tersebut juga merupakan hak Sultan untuk mendeklarasikan diri dan merupakan konsekuensi rapimnas (rapat pimpinan nasional) Golkar 17-19 Oktober lalu, yaitu nama Sultan juga diusulkan menjadi calon presiden.

Ia menambahkan, saat ini Partai Golkar harus berbenah diri sehingga bisa mengoptimalkan perolehan suara dalam pemilu yang akan datang. Hal ini
perlu dilakukan, mengingat dalam survey yang dilakukan oleh Lembaga Survai Indonesia menyatakan popularitas Golkar merosot, yaitu hanya mencapai 16 persen saja, sedangkan popularitas partai Demokrat justru naik.

“Jika dalam survei suara Golkar anjlok ini menunjukkan Golkar tidsk punya kader yang potensial,” kata Fadel menjawab pertanyaan wartawan usai bedah buku “Reinventing Local Government” di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu (19/11).

Fadel menambahkan, hendaknya Golkar sebagai partai terbesar harus mencalonkan kadernya sendiri dalam pemilihan presiden pada 2009 nanti.

Baca Selengkapnya.....

Minggu, 16 November 2008

Pemekaran Daerah......Solusi Ketertinggalan atau penyebab ketertinggalan????

Pemekaran daerah sejatinya ditujukan dalam rangka menyelesaikan ketertinggalan, namun di pihak lain seringkali dituding menjadi penyebab bertambahnya jumlah daerah tertinggal. Malah ada yang menilai pemekaran daerah sebagai penyebab ketertinggalan itu sendiri.

Kalau dinilai sebagai penyebab ketertinggalan barangkali tidak tepat. Tapi kalau dikatakan pemekaran daerah dapat menyebabkan bertambahnya jumlah kabupaten tertinggal, itu ada benarnya. Lihat misalnya, satu daerah tertinggal dimekarkan menjadi tiga daerah otonom, maka secara administratif, jumlah daerah tertinggal menjadi tiga, yaitu satu daerah induk yang dari awalnya memang sudah tertinggal dan tambahan dua lagi dari daerah otonom baru.

Namun demikian, dimekarkan ataupun tidak, dua wilayah yang menjadi daerah otonom baru tersebut tetap saja tertinggal. Hanya yang pasti, dengan pemekaran ini, kedua wilayah tersebut mempunyai peluang untuk lebih diperhatikan dan keluar dari ketertinggalan.

Bagaimana tidak, dengan menjadi daerah otonom maka pelayanan masyarakat menjadi lebih dekat dan memiliki anggaran yang dikelola sendiri yang dapat digunakan untuk membangun wilayah tersebut. Sewaktu bergabung dengan daerah induk, boleh jadi alokasi anggaran ke wilayah tersebut sangat kecil.

Penghentian kebijakan pemekaran daerah oleh pemerintah sementara ini bukanlah masalah daerah. Tapi masalah pusat, karena pusat tidak memiliki cukup dana. Jumlah daerah merupakan angka pembagi dalam formula penentuan Dana Alokasi Umum (DAU). Yang dirugikan sebetulnya daerah induk, karena alokasi APBN untuk daerah menjadi terbagi kepada daerah otonom baru. Namun biasanya, jumlah DAU yang diterima daerah induk setelah pemekaran minimal sama dengan sebelum terjadinya pemekaran, maka kebutuhan dana akibat pemekaran ini menjadi beban tambahan bagi pusat.

Kendati pemekaran daerah membuka peluang untuk menjadi sarana keluar dari ketertinggalan, namun dalam faktanya sekarang masih sulit diwujudkan karena berbagai persoalan yang menyelimuti daerah otonom baru tersebut.

PP 129 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah menjauhkan atau paling tidak memperlambat tujuan pemekaran daerah. Di samping itu, dari hasil studi yang dilakukan penulis bersama Tim dari Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS tahun 2004, ditemukan bahwa belum meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah otonom baru disamping karena persoalan konflik tadi diantaranya diakibatkan juga oleh persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan Sumber Daya Manusia.

Dalam aspek kelembagaan, ditemui bahwa beberapa daerah otonom baru saat membentuk unit-unit organisasi pemerintah daerah tidak sepenuhnya mempertimbangkan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya menjadi sarana bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi legislatif sebagai partner pemerintah daerah.

Untuk infrastruktur, sebagian besar daerah otonom baru belum didukung oleh prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai. Banyak kantor pemerintahan menempati gedung-gedung sangat sederhana yang jauh dari layak. Ditemui di beberapa daerah, aula sederhana disekat-sekat papan triplek untuk ditempati beberapa dinas.

Dalam hal Sumber Daya Manusia secara kuantitatif relatif tidak ada masalah, walaupun masih juga ditemui ada Kantor Bappeda yang hanya diisi oleh 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang Kepala Bappeda dan 1 (satu) orang staf. Secara kualitas yang menonjol adalah penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang Sarjana Sastra.

Hal lain yang juga penting adalah persoalan leadership dan kejuangan dari Pimpinan Daerah beserta staf untuk berani hidup “menderita” di daerah baru yang sangat minim fasilitas. Hal ini penting untuk digaris bawahi, karena sampai saat ini banyak Kepala Daerah dan pejabat lainnya dari Daerah Otonom Baru masih lebih banyak tinggal dan berkantor di ibu kota daerah induk. Kalau begini, kapan melayani masyarakatnya ?

Beberapa permasalahan yang menyelimuti daerah otonom baru ini tentunya menjadi kendala tersendiri dalam upaya pengentasan daerah tertinggal.

Beberapa pihak terkait, khususnya Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), sudah seharusnya mempunyai perhatian lebih terhadap permasalahan daerah otonom baru ini. Betapa tidak, dari 199 daerah tertinggal yang menjadi tanggungjawab KPDT ada 45 % yang merupakan daerah otonom baru. Nah !

Baca Selengkapnya.....

Kamis, 13 November 2008


Dasar Hukum Pemekaran Wilayah

UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut: “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”

Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini,

  • Kemampuan ekonomi.
  • Potensi daerah
  • Sosial budaya
  • Sosial politik
  • Kependudukan.
  • Luas daerah.
  • Pertahanan.
  • Keamanan.
  • Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Terakhir, syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Baca Selengkapnya.....

Senin, 08 September 2008

Kunjungi.....!!!! www.romilibrayanto.iceglow.com









Apa???

Bukan sesuatu yang istimewa
Apalagi sesuatu yang luar biasa
Tidak untuk membuat decak kagum
Tidak pula untuk pamer di depan umum

Mengapa???

Ingin berlari secepat cahaya
Tapi tak mampu banyak bicara
Obat penawar racun tak mesti harum
Begitu pula sarana bertukar argumen hukum

Bagaimana???

Pencipta lagu pernah berkata
Mari bernyanyi riang gembir
Bahu-membahu membentuk forum
Saling menolong membangun kaum

www.romilibrayanto.iceglow.com


Baca Selengkapnya.....

Kelemahan KUHAP dalam praktek


Sebagai sebuah karya Agung, ternyata KUHAP tidak mengatur tentang perlidungan pelapor, saksi dan korban. Sehingga sering kali sebuah kasus jadi mandek atau terkatung-katung. Dan penyidik/JPU sangat kesulitan, akibat pelapor, saksi, korban takut untuk memberikan keterangan. Sebab jika memberikan keterangan maka keselamatan jiwa diri pribadi maupun keluarga terancam oleh tersangka/terdakwa. RUU KUHAP harus mengatur secara jelas dan rinci soal perlindungan pelapor, saksi dan korban, walupun telah ada UU perlindungan saksi dan korban. Apalagi sekarang telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK)

Pada proses pemeriksaan di pengadilan, ternyata tidak dikembangkan pemeriksaannya, hanya terpaku pada berkas BAP. Misalnya hakim/jaksa yang memeriksa saksi/terdakwa dengan metode bertanya seperti ini:


Hakim/JPU : ”Apakah saksi/terdakwa pernah diperiksa oleh polisi?”

Saksi/terdakwa : ”Betul”


Hakim/JPU : ”Apakah betul ini tandatangan/jempol saksi/terdakwa?”

(hakim/JPU biasanya memanggil saksi/terdakwa untuk diperlihatkan BAP serta bagian yang ditandatangani/jempol)

Saksi/terdakwa: ”betul”


Hakim/JPU :”Apakah betul semua keterangan dalam BAP ini?”

Saksi/terdakwa : ”Betul”


Ada perkara yang disidang hanya tiga kali saja. Sidang pertama, pembacaan dakwaan, dilanjutkan dengan pembuktian. Sidang kedua, tuntutan. Dan sidang ketiga, putusan. Cara-cara seperti ini sering dipakai atas diri terdakwa yang tidak didampingi oleh penasihat hukum

Pada proses pembuktian, satu hal yang sangat populer saat ini adalah peran saksi ahli kian menonjol. Faktanya banyak perkara yang diputus dengan menjadikan keterangan ahli sebagai dasar pembenaran. Padahal banyak ahli yang memberikan keterangan sangat diragukan objektifitasnya ataukah memberikan keterangan by order. Sehingga bukannya berfungsi sebagai saksi ahli tapi hanya ahli dalam bersaksi. RUU KUHAP harus mengatur batasan yang jelas tentang ahli, dan ahli yang diajukan oleh JPU maupun terdakwa harus dicarikan ahli pembanding oleh Majels Hakim.


Kelemahan KUHAP yang lainnya adalah soal putusan. Banyak putusan yang menjatuhkan pidana, tapi dalam diktum putusannya tidak mencantumkan secara tegas adanya perintah untuk segera menahan terdakwa. Sehingga JPU tidak bisa melakukan eksekusi langsung atas putusan yang seperti ini. Dan terdakwa sekali pun dinyatakan terbukti bersalah, dia bebas untuk tidak ditahan ataukah melarikan diri. RUU KUHAP, harus mengatur bahwa pada setiap putusan harus mencantumkan perintah untuk ditahan, jika dinyatakan terbukti bersalah, walaupun ada banding atau kasasi.

Terhadap putusan, JPU kadang kesulitan. Sebab ternyata putusan yang dibacakan oleh majelis hakim, banyak yang masih berupa konsep atau tulisan tangan. Sehingga untuk melakukan eksekusi, JPU harus menunggu petikan putusan selesai. Kesempatan seperti ini biasanya digunakan oleh terdakwa untuk melarikan diri. RUU KUHAP, harus lebih mempertegas rumusan yang tercantum dalam Pasal 200 KUHAP sekarang.


Permasalahan lain adalah soal banding dan kasasi. Berkas permohonan banding/kasasi tidak dikirimkan ke PT/MA. Demikian juga terhadap putusan banding/kasasi. Dalam hal ini pengadilan/JPU tidak menyampaikan kepada yang berkepentingan. RUU KUHAP harus mengatur tentang akses para pihak untuk mengetahui sejauh mana proses banding/kasasi yang dimohonkan, sehingga tidaka ada lagi permainan kongkalikong.


Persoalan peninjaun kembali (PK). Berdasarkan Pasal 263 KUHAP, maka yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Dalam praktek, jaksa juga dapat melakukan PK. RUU KUHAP harus dengan tegas mengatur soal PK yang dilakukan oleh jaksa. Misalnya hanya untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan dengan mempunyai batas waktu pengajuan ataukah dengan tegas melarang jaksa untuk PK dengan alasan bahwa jaksa telah diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan pembuktian.

Untuk pengawasan pelaksanaan putusan, dalam praktek banyak terpidana yang ternyata tidak menjalani hukumannya, walaupun dalam register napi di LP dia tetap tercatat RUU KUHAP, harus mengatur secara tegas pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan putusan, dan jika memungkinkan membentuk lembaga khusus untuk hal ini.


Terakhir masalah koneksitas. Dalam praktek aturan dalam KUHAP sering diabaikan, karena adanya unsur superior peradilan militer. Seolah-olah jika pelaku tindak pidana adalah anggota militer, maka semuanya harus diadili di peradilan militer. Padahal kerugian yang ditimbulkan tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan militer. Misalnya kasus pembunuhan bos Asaba oleh menantunya dengan menyewa anggota marinir. Tindak pidana ini jelas korbannya adalah sipil, intelektual dadernya pun sipil. Tapi anggota marinir tidak diadili di peradilan umum. RUU KUHAP, untuk mempertimbangkan keberadan aturan koneksitas kalau perlu dihapuskan saja, dengan mengingat prinsip semua orang bersamaan kedudukannya di muka hukum. Sehingga segala perbuatan pidana harusnya diadili diperadilan yang sama tanpa ada perbedaan karena hanya persoalan pekerjaan.


Tentang penulis:

Amir Ilyas SH, dosen FH Universitas Hasanuddin Makassar, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 241 41047 Email: amir_uh_unhas@yahoo.com

Baca Selengkapnya.....

Pemilu 2009........Apakah perlu?


Tidak terlalu penting apakah presiden Indonesia tahun 2009 adalah militer atau bukan. Yang lebih penting adalah kemampuan dia memberikan perubahan-perubahan yang significant pada bangsa. Dia harus mampu membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Itu idealnya.

Masalahnya adalah apakah suprastruktur dan infrastruktur politik kita mendukung bagi terpilihnya orang yang ideal itu? Sepertinya untuk kondisi saat ini belum siap atau dengan sengaja tidak disiapkan.

Masih terlalu banyak hambatan dan tantangan bagi terbentuknya sebuah tatanan yang ideal. Pertama, keputusan-keputusan politik yang dihasilkan oleh DPR masih kentara dengan permainan kepentingan bagi-bagi kekuasaan. Hal itu tercermin pada undang-undang pemilu yang baru selesai itu. Kedua, secara umum tingkat rasionalitas politik kita masih jauh dari ideal. Rakyat kebanyakan memilih tidak melihat rekam jejak (track record) seseorang.

Rakyat umumnya terjebak pada permainan citra dan politik uang. Ketiga, orang-orang yang terbaik yang pantas untuk menduduki jabatan tertentu biasanya tidak diberi kesempatan atau memang jarang ada yang mau. Misalnya, Nurcholish Madjid ketika besedia ikut dalam konvensi Partai Gokar belum apa-apa sudah dimintai bukan hanya visi tapi yang lebih penting adalah "gizi". Makanya dia mengundurkan diri.
Karena itu memperbaiki bangsa Indonesia ini memang harus butuh kesabaran dan waktu yang relatif panjang. Hal ini karena mentalitas yang sudah terbangun bagi sebagian kalangan politisi kita adalah mentalitas korup. Kalau begitu bagaimana mengakhiri semua ini mengingat ekspektasi rakyat yang sangat besar terhadap perubahan? Apakah perlu sebuah revolusi?

Revolusi memang perlu. Tetapi revolusi bukan dalam artian melakukan tindakan perebutan kekuasaan yang berdarah-darah. Revolusi harus lebih mengarah pada revolusi sistem dan revolusi budaya. Dan kita sudah memilih sistem demokrasi sebagai sebuah pilihan karena diyakini demokrasi sampai saat ini merupakan sistem yang terbaik dari segala sistem yang ada. Namun demokrasi pun pada prakteknya kembali mengecewakan sebagian orang. Maka memperbaiki praktek demokrasi ini harus pula menjadi agenda besar. Programnya adalah bagaimana mendemokrasikan demokrasi (Antony Gidden).

Namun terhadap sistem budaya sepertinya masih dalam pencarian secara terus menerus. Dulu ada polemik kebudayaan antara sutan takdir Alisyahbana dengan Kihajar Dewantoro. Menurut STA Indonesia harus menerima konsep-konsep budaya dari Barat. Sementara Ki hajar Dewantara berprinsip kebudayaan Indonesia harus lahir dari bangsa Indonesia sendiri.

Terhadap hal ini pokok masalahnya berkaitan dengan masalah perkembangan dan kemajuan. Ke-Indonesiaan kita masih terus berproses. Tetapi satu hal yang tidak bisa di tolak adalah modernisme. Tampaknya titik temu semua kepentingan manusia dalam abad ini adalah penerimaan nilai-nilai modernisme tadi. Modernisme adalah cara berfikir baru, dinamis, progseif dan selalu aktual.

Jadi tampaknya menyelesaikan masalah Indonesia tidak cukup dengan mengganti presiden walaupun yang terpilih justru sangat bagus. Problem Indonesia adalah sangat mendasar yang melibatkan banyak sekali faktor.

Namun demikian, bila nanti terpilih presiden yang benevolent strong man (istilah dari Nurcholish Madjid) harus menjadi kesyukuran kita. Artinya dengan hal itu mudah-mudahan dia bisa memimpin Indonesia untuk mencapai cita-cita seluruh masyarakat yang ingin adil makmur yang diridhoi Tuhan Maha Esa.

Baca Selengkapnya.....

Tuhanku...........................


Posting ini adalah tanggapan saya pada sebuah topik diskusi di situs facebook. Topiknya sendiri bertema konsep tentang Tuhan. Inilah tanggapan saya dengan sedikit pengembangan dan perbaikan.

Jika kita ingin menggambarkan Tuhan secara rasional , jelas dan gamblang melalui rasio ataupun perasaan kita pasti kita akan mengalami kegagalan. Kita akan terjebak pada Tuhan yang bersifat antroposentrisme. Namun sejalan dengan keingintahuan manusia pertanyaan tentang seperti apa Tuhan itu telah menyibukkan manusia sepanjang sejarahnya.

Dalam buku Sejarah Tuhan karangan Karen Amstrong terlihat bahwa konsep Tentang Tuhan itu selalu berevolusi mengikuti situasi dan kondisi pada waktu kapan manusia hidup.

Karenanya Karen Amstrong juga mempertanyakan apakah konsep kita tentang Tuhan saat ini masih relevan? Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa pembicaraan tentang Tuhan saat ini sering sekali terjebak pada antroprosentris. Tuhan yang digambarkan adalah Tuhan yang personal yakni penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia yang memiliki kepribadian.

Budi munawar Rahman mendifinisikan Tuhan personal adalah penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi. Jadi Tuhan bukan prinsip. Menurut perspektif ini, Tuhan bukan suatu yang berada di balik alam dan meliputi semuanya. Biasanya, lawan Tuhan personal adalah Tuhan yang a-personal atau impersonal.

Dalam sejarah, Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para sufi. Tuhan para mistikus. Dan Armstrong mengatakan, bahwa masa depan Tuhan adalan persepsi kita tentang Tuhan. Tidak ada masa depan untuk Tuhan yang personal ini. Dia menggambarkan panjang lebar pada bab terakhir bukunya, mengenai prediksi masa depan Tuhan. Menurut dia, sejauh Tuhan masih digambarkan terlalu rasional —sebagaimana dalam teologi selama ini— selama itu pula kepercayaan kita mengenai Tuhan akan mengalami krisis dan selalu dipertanyakan kembali (Budi Munawar Rahman wawancara dengan Ulil Abshar Abdala,islamlib.com).

Padahal sejatinya Tuhan itu adalah impersonal sebagaimana banyak difahami oleh para sufi. Oleh karena itu gambaran Tuhan yang rasional pasti akan mengalami kebuntuan dan mungkin saja berujung pada atheism.

Nah, yang paling mungkin adalah menggunakan metafor ataupun analogi. Tetapi itu pun tak cukup karena dalam analogi ataupun metafor tersebut, Tuhan yang kita bicarakan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tapi Tuhan dalam konsep kita. Sedangkan konsep tentang Tuhan sangat banyak dan punya klaim kebenaran masing-masing.

Walaupun demikian, saya setuju kalau untuk memahami Tuhan dengan rasio. Karena dari awal saya sudah menganjurkan untuk memakai analogi ataupun metafor agar kita mudah mengerti .

Agama sendiri mengajarkan agar kita mempergunakan akal-akal kita. Alquran dalam banyak ayat memberikan pertanyaan retorik seperti, apakah kalian tidak berfikir, apakah kalian tidak berakal dan seterusnya.

Tetapi menggambarkan Tuhan dengan rasio yang sangat personal sungguh tidak memuaskan bagi saya. Bagaimanapun Tuhan adalah kebenaran mutlak dan selain Tuhan adalah kebenaran nisbi belaka. Rasio adalah sebuah makhluk juga karenanya bersifat nisbi yang tidak mungkin mencapai derajat kebenaran mutlak itu.

Maka pada tataran kebenaran nisbi itulah berlakunya ilmu. Sebuah ilmu yang terdiri atas berbagai teori itu sesungguhnya adalah hanya bentuk sederhana dari realitas.

Oleh sebab itu sebuah teori selalu bisa dibantah seperti gambarkan Hegel dengan tesis, anti tesis dan sintetis. Begitu pun oleh Thomas Kuhn dalam konsep lahirnya sebuah paradigma.

Dengan mengerti demikian maka memahami Tuhan harus dengan skema memahami makhluknya terlebih dahulu barulah kita bisa faham yang dinamakan Tuhan. Mustahil kita bisa memahami atau merasakan kehadiran Tuhan tanpa kita memahami makhluk ciptaannya. Kebenaran nisbi harus terus menerus didekatkan pada kebenaran mutlak.

Baca Selengkapnya.....

Minggu, 07 September 2008

Penegak Hukum Bukan Sekadar Corong Hukum


Kalau kita melihat lembaga-lembaga pengadilan di Inggris, kita akan menemukan motto yang berbunyi “berikan aku hakim yang baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk”. Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara supaya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya terdapat kekurangan, ada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran.

Dari motto tersebut, hakim diingatkan bahwa kata kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) lebih dominan berada di dalam kekuasaannya, bukan ditelakkan pada produk hukumnya. Produk yuridisnya boleh saja kurang, kabur, dan bahkan cacat, tetapi mentalitas hakim dilarang cacat, tidak boleh lebih buruk dibandingkan kondisi produk hukumnya.

Motto yang berhasil dijadikan kekuatan moral (moral force) oleh para hakim tersebut berdampak luar biasa. Pelaksanaan sistem peradilan pidana, terutama dalam penanganan kasus-kasus besar, misalnya tindak pidana korupsi, dapat berjalan dengan baik. Vonis yang dijatuhkan oleh hakim bukan mencerminkan keinginan terdakwanya, tetapi benar-benar mencerminkan keinginan kuat dalam menegakkan keadilan.

Motto tersebut disosialisasikan di mana-mana, karena pemerintah Inggris menyadari bahwa setiap produk hukum sangatlah sulit memenuhi kesempurnaan maksimal. Bukan tidak mungkin usai diberlakukan, produk ini ternyata menyimpan kekurangan fundamental, yang hanya bisa diatasi oleh hakim-hakim yang punya keberanian memosisikan diri bukan sebagai mulut undang-undang (la bauche de laloi), tetapi sosok yang dibebani kewajiban berkreasi atau melahirkan norma-norma untuk menutup kevakuman.

Aparat penegak hukum yang tidak menempatkan diri sebagai “mulut undang-undang” atau corong hukum semata itulah yang dibutuhkan untuk menangani (memeriksa) kasus korupsi di Inggris. Dengan mentalitas demikian ini, pencari keadilan dilindungi dan dijembatani hak-haknya.

Belajar dari model peradilan di Inggris tersebut, aparat penegak hukum di negeri ini harus menunjukkan kecerdasan mentalitasnya saat berhadapan dengan tersangka atau terdakwa kasus korupsi. Kecerdasan mentalitas menempati hirarkhi tertinggi dibandingkan law in books.

Koruptor atau koalisi komunitas elite yang diduga melakukan penyimpangan kekuasaan merupakan golongan manusia yang punya keberanian besar, yang tidak sebatas keberanian “menjarah” uang negara (rakyat), tetapi juga sangat pintar membaca bahwa umumnya aparat penegak hukum di negeri ini terkerangkeng dalam ranah utama sebagai corong hukum.

Kecerdasan koruptor di negeri ini tergolong spesial, mengingat sudah berbagai upaya dilakukan untuk melawan atau menjaring koruptor, tetapi yang terjaring masihlah yang klas tikus, bukan yang kelas gurita. Ini lebih disebabkan kecerdasan atau kelihaian koruptor yang melebihi kemampuan dan keberanian aparat penegak hukum.

Berkali-kali produk yuridis yang bertemakan politik penanggulangan korupsi dibikin dan sudah terbilang memenuhi standar kelayakan, namun produk layak ini belum mampu menunjukkan taringnya ketika berhadapan dengan penjahat beridentitas “krah putih” ini. Kekuatan penjahat “krah putih” ini mampu membuat aparat penegak hukum mengidap lesu darah, impoten, atau susut nyalinya.

Alih-alih ke tingkatan melompati pagar bukan sebatas”mulut hukum”, untuk konsisten mengikuti norma hukum saja, aparat penegak hukum kita belum berani menerapkannya secara maksimal. Sebut, misalnya, berbagai bentuk penyalahgunaan dana bencana alam di saat negeri di timpa banyak bencana ini. Dalam hal ini seharusnya aparat penegak hukum bisa menerapkan ancaman maksimal (sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 20 Tahun 2001) kepada terdakwanya atau penyalahgunaan uang rakyat di saat darurat ini dengan hukuman mati. Nyatanya, hingga sekarang, rasanya belum ada aparat yang berani “berjihad” secara yuridis ini.

Kalau menjadi corong hukum saja belum bisa ditegakkan konsisten, maka tampaknya berat sekali mengharapkan aparat penegak hukum “berhijrah” secara intelektualitas yuridis dengan cara mengembangkan model penafsiran atau interpretasi hukum, yang selain bertujuan untuk menjaring dan mempertanggungjawabkan koruptor, juga menunjukkan bahwa dalam dirinya ada tekad (mentalitas) hingga pasang badan untuk melawan koruptor.

Mentalitas aparat penegak hukum kita memang masih menjadi virus utama yang membuat politik penanggulangan korupsi rentan diserang, dikooptasi, dijinakkan, dan bahkan diimpotensi oleh berbagai kekuatan yang berkoalisi dan berkolaborasi dengan koruptor. Kekuatan yang antipemberantasan korupsi seperti diberikan kran lebar untuk bermain-main atau memainkan aparat penegak hukum.

Kekuatan antipemberantasan korupsi sebenarnya tidak akan merajalela, jika saja aparat penegak hukum mampu memaksimalkan perannya, bukan sebatas sebagai corong hukum, tetapi juga kreator yang mengisi kevakuman norma hukum dan mengembangkannya menjadi senjata ampuh bernama norma hukum yang progresif atau norma yang berbasis kepentingan bangsa dan masyarakat ke depan.

Virus yang menjangkiti mentalitas aparat penegak hukum tersebut harus direformasi oleh aparat itu sendiri, kecuali mereka ini memang bernafsu menjadi teman keabadian dari komunitas elite “penjahat krah putih”. Sebab, mereka sudah punya komisi-komisi pengawasan, seperti Komisi Pengawas Kejaksaan, Komisi Pengawas Kepolisian, dan lain sebagainya, yang bisa melakukan langkah-langkah konkret terhadap anggota korps yang bermain mata dengan kalangan pelaku kejahatan korupsi. Dalam kejahatan korupsi, banyak hal yang bisa dikuak lebih dalam oleh aparat pemberantasnya yang bermental kreatif.

Baca Selengkapnya.....

Pelayanan Publik di Kecamatan

Pemerintah Kecamatan menjadi ujung tombak pelayanan publik di daerah. Terdapat cukup banyak jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dan harus diurus atau diselesaikan di tingkat kecamatan. Urusan KTP misalnya, walaupun di beberapa daerah sudah dipusatkan di kabupaten, di banyak daerah lain di seluruh Indonesia masih harus ditangani oleh pemerintah kecamatan. Juga pengurusan berbagai perijinan. Selain…Selain melayani berbagai urusan pelayanan administratif kependudukan dan perijinan, pemerintah kecamatan juga mengemban tugas melaksanakan pelayanan dasar sektoral, mulai dari urusan ketertiban dan kemanan, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, dan upaya-upaya konkrit mensejahterakan masyarakat.

Dengan beban berat seperti itu, nyatanya pemerintah kecamatan tidak mendapat dukungan yang memadai, baik dari sisi kewenangan, keuangan, SDM, maupun sarana dan prasarana. Tidak heran bahwa sampai saat ini masih banyak warga masyarakat yang mengeluhkan rendahnya mutu pelayanan yang dilakukan pemerintah kecamatan.

Baca Selengkapnya.....

Sabtu, 06 September 2008


Jakarta - Sedih dan kecewa. Begitu perasaan Fadel Muhammad setelah mengetahui namanya dicoret dari deretan calon legislatif (caleg) Partai Golkar. Dia menilai DPP Partai Golkar tidak demokratis.

Namun pria ganteng yang juga Gubernur Gorontalo itu tidak sakit hati kepada Golkar. Fadel mengaku akan tetap loyal kepada partai yang dipimpin Jusuf Kalla itu.

Kepada detikcom, pria yang banyak mendapat penghargaan atas prestasinya sebagai Gubernur itu menegaskan tidak akan menuntut. Berikut wawancara dengan Fadel pada (20/8/2008):

Nama Anda tidak tercantum dalam daftar caleg Partai Golkar. Bagaimana Anda menyikapi ini?


Ya nama saya dicoret. Saya sedih sekali karena ini prosesnya sudah lama. Kemudian saya sudah fungsionaris Golkar juga sudah lama. Saya juga sudah minta izin kepada rakyat Gorontalo dan juga DPRD, mereka tidak keberatan kalau saya mencalonkan diri.

Kenapa Anda ingin maju?

Saya sudah lama di Gorontalo, mereka ingin saya berkiprah di nasional. Mereka bilang saya ini naga yang berkiprah di laut dangkal, jadi mereka mendukung saya untuk maju di nasional.

Saya selama ini mendapat banyak penghargaan terkait pemerintahan saya. Mereka bilang banyak program saya yang bisa diterapkan di nasional. Dan juga biar Gorontalo ada kebanggaan.

Menurut Anda, bagaimana dengan kebijakan Golkar yang mencoret nama Anda?

DPP Golkar tidak demokratis dan aspiratif. Tidak mendengarkan suara dari daerah. Tidak mendengarkan suara akar rumput. Tapi saya tegaskan, saya tetap loyal kepada Golkar. Itu partai yang membesarkan saya. Meski saya kecewa kepada beberapa oknum di DPP.

Kenapa Partai Golkar selalu kalah di daerah, karena memang kecenderungan Golkar sekarang beda. Kurang mendengarkan aspirasi di daerah.

Apakah akan menuntut?

Enggak, saya kira enggak. Banyak yang menyarankan saya untuk menuntut, tapi saya pikir-pikir, buat apa? Lebih baik saya legowo, saya terima meski saya sedih sekali.

Bagaimana reaksi masyarakat Gorontalo?

Mereka juga kecewa, semalam ramai sekali. Warga turun ke jalan sampai jam setengah tiga pagi.

Baca Selengkapnya.....

Jumat, 05 September 2008

Akbar Tandjung pun Bicara Soal Fadel


Mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung menyatakan, situasi di internal DPP Partai Golkar sudah tidak solid lagi. Akbar Tandjung dalam perbincangan khusus dengan Persda Network melalui telepon, Jumat (22/8), menyayangkan pernyataan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla yang dianggapnya tidak patut dengan mempersilakan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad pindah ke partai lain bila berniat menjadi calon anggota legislatif.

"Menurut saya, itu pernyataan yang tidak patut. Alangkah baiknya, Fadel Muhammad dipanggil dan dibicarakan secara baik-baik. Kenapa kemudian harus mengatakan untuk mempersilakan Fadel untuk pindah partai. Ini kan makin menunjukan internal Golkar sudah tidak solid lagi. Fadel itu kan kader terbaik," tegas Akbar Tandjung.

Pernyataan Akbat Tandjung ini menanggapi pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar yang mempersilakan Fadel Muhammad pindah ke partai lain bila berniat menjadi calon anggota legislatif.

Akbar kemudian mengomentari pernyataan Fadel Muhammad yang mengaku dekat dengan dirinya. "Kalau kemudian juga Fadel Muhammad mengatakan gagal menjadi calon anggota legislatif karena dekat dengan saya, memangnya kenapa? Memangnya ada apa? Semua di DPP Golkar sebagian juga dekat dengan saya. Yang saya lihat ada yang tidak menginginkan Fadel maju karena dianggap sebagai pesaing," tandas Akbar.

Sebelumnya kepada para wartawan, Gubernur Gorontalo kembali menyampaikan kekecewaannya terkait namanya yang dicoret sebagai calon anggota legislatif Partai Golkar. Fadel secara berterus terang menyatakan kekecewaannya terhadap Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla yang meminta dirinya keluar dari Golkar. Fadel kemudian menduga, namanya dicoret karena dianggap sebagai 'orangnya' Akbar Tandjung.

"Sama sekali pernyataan itu tidaklah tepat sama sekali. Seharusnya kita bisa mengoreksi dan tidak benar seorang pemimpin kemudian dinilai anak buahnya bermasalah kemudian mengeluarkan pernyataan seperti itu. Meski saya menyatakan akan tetap loyal, tapi saya memang kecewa dengan oknum-oknum di DPP.

Akbar kemudian menanggapi lagi. Segala persyaratan bagi Fadel Muhammad untuk menjadi calon anggota legislatif sudah dipenuhi. Akbar bahkan mengaku sudah ditemui oleh Fadel Muhammad dan menyarankan untuk meminta pendapat masyarakat Gorontalo dan akhirnya bisa dilakukan oleh Fadel.

"Ini kan sudah menjelang Pemilu. Partai (Golkar) membutuhkan suatu soliditas organisasi, konsolidasi partai kita butuhkan. Seharunya, DPP mengambil langkah-langkah yang seharusnya memperkuat organisasi. Dan jangan sampai mengambil langkah-langkah yang mengarah kepada organisasi tidak semakin solid seperti yang dilakukan terhadap Fadel Muhammad. Ini kan mengganggu soliditas organiasasi." kecam Akbar.

"Jauh lebih baik, ketua umum (Jusuf Kalla) bersama para pengurus Golkar lain memanggil Fadel kemudian menjelaskan mengapa tidak dicalonkan, itu kan jauh lebih baik. Saya juga dengar Pak Jusuf Kalla mengatakan begini, kalau Fadel merasa tidak puas, mau keluar partai silakan. Itu kan pernyataan yang tidak patut. Makin menegaskan sudah tidak ada soliditas partai lagi," urainya.

Baca Selengkapnya.....

Fadel Mohammad: Pernyataan JK Tidak Tepat


Politisi Golkar yang juga Gubernur Gorontalo Fadel Mohammad merespons dengan santai pernyataan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla yang mempersilakan Fadel keluar dari Golkar jika ingin pindah partai.

Pernyataan itu disampaikan JK beberapa hari lalu saat diminta konfirmasi mengenai pencoretan nama Fadel dari Daftar Caleg Sementara Golkar yang diajukan ke KPU, 19 Agustus lalu.

Bagi Fadel, pernyataan itu tak tepat dilontarkan seorang pemimpin. "Saya kira tidak tepat (pernyataan JK). Saya belum pernah dengar ada seorang pemimpin ketika anak buahnya dinilai bermasalah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Kita seharusnya mengoreksi. Tidak perlu kita mengusir orang tersebut dengan bahasa-bahasa yang kasar. Tidak tepat dilakukan oleh seorang pemimpin. Saya juga heran," kata Ketua DPD Golkar Gorontalo ini seusai mengikuti pidato Presiden di Gedung DPR, Jumat (22/8).

Hingga saat ini, ia akan tetap tunduk pada perintah pimpinan partai. Fadel pun menegaskan akan tetap berada di Golkar. "Saya tenang saja, santai. Saya juga pernah sedih, pernah gembira. Saya tidak akan lompat pagar. Saya akan bersabar di dalam pagar," ujarnya.

Sikap dari oknum pengurus DPP Partai Golkar, menurut Fadel, menjadi salah satu faktor mengapa Golkar kalah di sejumlah pilkada. DPP Golkar, kata dia, tak memberikan apresiasi terhadap DPD yang telah berperan dalam memenangkan pilkada di daerahnya.

"Saya sudah memberikan kontribusi terbesar di antara seluruh kader Golkar untuk memenangi pilkada di Gorontalo, harusnya diapresiasi oleh pimpinan pusat. Saya jadi mengerti, kenapa Golkar selalu kalah di mana-mana. Karena sikap-sikap DPP Golkar yang seperti ini sehingga membuat kader-kader Golkar jadi kecewa, keluar, lompat pagar. Meskipun saya punya sikap akan tetap loyal, tapi saya kecewa dengan oknum-oknum di Golkar," ujar Fadel.

Baca Selengkapnya.....

Comments