Senin, 29 Desember 2008

Transparansi dan Partisipasi di daerah


Pemerintahan daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah merupakan tingkatan pemerintahan yang berlandaskan pada hukum karena komitmen integralistik yang selalu memandang Pemerintahan Daerah secara kewilayahan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Aspirasi daerah telah melahirkan suatu ketetapan hati untuk memperlihatkan adanya keharusan untuk mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang dapat menjalankan sistem pemerintahan dengan meminimalkan pengaruh pemerintahan pusat dan memaksimalkan peran pemerintahan daerah pada daerah yang bersangkutan.

Penekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dengan penekanan pada unsur pemerataan dan keadilan telah melahirkan suatu pola pikir untuk lebih mewujudkan pemberdayaan pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengatur, dan menata daerahnya tanpa adanya pendiktean dari pemerintah pusat.

Sementara itu, setelah memperoleh legitimasi dari lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah di Indonesia berlomba-lomba menerapkan undang-undang tersebut di daerahnya masing-masing, untuk diimplementasikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, guna mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).

Boleh dikata bahwa tantangan utama yang dihadapi Pemerintahan Daerah di Indonesia adalah bagaimana menciptakan sebuah tata pemerintahan yang baik (good governance). Tantangan tersebut muncul karena banyaknya persoalan nyata yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat yang belum dapat diselesaikan. Banyaknya persoalan yang belum dapat diatasi tersebut sebagian disebabkan oleh lemahnya fungsi tata pemerintahan yang baik, yang berimbas pada buruknya sistem manajemen pengelolaan pemerintahan. Pemerintah Daerah seharusnya dapat menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, dan kebijakan yang diambil bersifat transparan.

Untuk menunjang terciptanya pemerintahan yang baik, salah satunya dengan menganut asas keterbukaan. Asas keterbukaan ini disebutkan dalam Pasal 20 (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Asas keterbukaan ini, oleh beberapa pakar, lembaga maupun peraturan perundang-undangan kemudian diperluas maknanya ataupun diinterpretasikan dengan kata transparan, kemudian ditambahkan kata partisipasi.
Asas transparansi diperlukan untuk menjamin keterbukaan Pemerintah Daerah dalam menyediakan informasi publik, yang memungkinkan setiap orang dalam daerahnya, dapat mengetahui proses perencanaan, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, sampai pada pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah daerah. Sedangkan asas partisipasi dimaksudkan agar masyarakat dapat terlibat secara sadar dan nyata dalam serangkaian proses pembangunan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, legalisasi transparansi dan partisipasi menemukan urgensinya.

Dalam perkembangannya, beberapa daerah di Indonesia menganggap prinsip transparansi dan partisipasi harus diterapkan secara nyata untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah Daerah dan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menentukan nasib daerah kedepan. Berdasarkan pemikiran tersebut ada daerah yang berinisiatif untuk membentuk suatu lembaga atau komisi independen yang khusus dibentuk untuk menegakkan prinsip transparansi dan partisipasi tersebut.

Beberapa daerah telah berinisiatif membentuk suatu komisi untuk menegakkan prinsip transparansi dan partisipasi tersebut. dibentuk Berdasarkan Perda Kabupaten. Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Kabupaten Bulukumba, dibentuklah Komisi Transparansi Dan Partsipasi ( KTP ), yang keanggotaannya berasal dari masyarakat yang diseleksi secara terbuka dan transparan, untuk menjamin kualitas dan independensi anggotanya.
Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat membawa angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lembaga ini harus bisa menjadi mediator yang netral dan independen antara pemerintah dan masyarakat, tujuannya agar antara pemerintah dan masyarakat dapat tercipta persepsi yang sinkron dan sinergis terhadap arah pembangunan daerah nantinya.

Namun disatu sisi timbul pertanyaan bahwa mampukah lembaga ini berfungsi sebagaimana tujuan dibentuknya, mengingat pelaksanaan otonomi daerah yang masih baru dan budaya pemerintah daerah yang masih anti dengan kritikan dan masih adanya sifat-sifat pemerintahan yang cenderung tertutup dan tidak mau melibatkan.

Pada kenyataannya, pelibatan masyarakat misalnya dalam pembentukan dan pemberlakuan Perda, oleh Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mengadopsi prinsip good governance, khususnya proses sosialisasi kepada masyarakat. Kurangnya sosialisasi menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kegiatan pemerintahan di daerahnya sendiri sehingga kesempatan untuk berpartisipasi menjadi kecil, padahal pelibatan partisipasi masyarakat akan menentukan kualitas dan daya keberlakuan suatu produk hukum. Pemberlakuan perda yang tanpa melalui proses sosialisasi, pada prinsipnya merupakan salah satu indikasi lunturnya karakteristik prinsip demokratisasi sebagaimana yang dianut dalam Otonomi Daerah. Bahkan kurangnya kegiatan sosialisasi Perda kepada masyarakat dapat dikategorikan sebagai tindakan yang masyarakat dalam setiap pengambilan dan pelaksanaan keputusan. Hal inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah atau tugas berat bagi lembaga ini untuk menegaskan urgensi eksistensinya.
Juga mengingat lembaga ini belum begitu populis dimata masyarakat sehingga mengharuskan anggota Komisi Transparansi Dan Partisipasi untuk bekerja secara profesional, independen, mandiri, dan bebas dari tekanan dan pengaruh-pengaruh luar. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, komisi ini harus bekerja sama dengan instansi-instansi terkait lainnya sehinga terjalin kerja sama yang baik, serta dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya tidak terjadi tumpang tindih satu sama lain dan tetap mengacu pada peraturan serta tujuan dibentuknya.

Baca Selengkapnya.....

Kamis, 25 Desember 2008

tahun ini, seperti tahun lalu, aku tak membuat resolusi

gegap gempita suara terompet, kembang api yang berpendaran mencerahkan langit. hingar-bingar pagelaran musik di hotel berbintang. dan keriuhan ucapan tahun baru via sms, blog dan banner di setiap depan perkantoran.

semua berpesta. suara denting gelas bersulang, menenggak kahlua. semua menikmatinya. meluapkan kegembiraan. sampai puncak.

sebenarnya sedang merayakan apa? kesuksesan?

bisa jadi. kalau mereka mengukurnya dengan keberhasilan melampaui target yang di tetapkan yang minimal delapan: punya kantor/usaha sendiri, memiliki honda jazz warna putih, berumah di panakukang residence di tengah kota.

namun di luar, makin banyak anak-anak yang terbata-bata mengeja kata. banyak ibu-ibu rumah tangga yang masih takut mencolokkan selang gas ke kompornya dan memilih mengantrikan jerigen-jerigen yang dinomori sampai tiga digit.

banyak teman-teman saya yang masih sibuk wawancara kerja sampai berbusa-busa. lebih ke sana lagi, hutan makin habis, bolongnya ozone makin menganga, laut makin tercemar racun. koruptor? maling?

tahun ini, seperti tahun lalu, aku tak membuat resolusi. bukan tak punya target atau harapan. aku cuman tak siap kecewa saja.

terlalu jauh menurutku, aku hanya ingin bisa membaca buku sehari satu. dan orang di sampingku men senyumi ku.



Baca Selengkapnya.....

Selasa, 16 Desember 2008

BHP Baik kok.....


Semangat otonomi ternyata tak hanya menyentuh bidang pemerintahan. Pendidikan, perlu pula menunjukkan independensinya bila ingin menjadi lokomotif kemajuan bangsa. Perlunya sebuah Badan Hukum Pendidikan (BHP) ialah untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu di Indonesia. Sesungguhnya, lembaga penyelenggara pendidikan di seluruh dunia berbentuk badan hukum. Maka sudah saatnya pendidikan nasional menata kembali status lembaga pendidikan agar memiliki badan hukum. Selama ini, pendidikan Indonesia mutunya rendah karena masih sulit untuk mengembangkan diri. Jika kondisi ini terus dipaksakan, kemampuan bersaing kita akan semakin berkurang.

kelebihannya pendidikan berbadan hukum
Lembaga pendidikan yang berbadan hukum dapat melaksanakan tindakan hukum, bertanggung jawab secara hukum, membuat keputusan yang berimplikasi hukum, dan dapat dikenai sanksi hukum. Sebagai lembaga yang meluluskan peserta didik, maka ijasah yang dikeluarkannya harus memiliki kekuatan hukum. Tanpa penataan yang jelas, akan banyak masalah yang timbul berkaitan dengan hal-hal tersebut.

hubungan RUU BHP ini dengan otonomi perguruan tinggi
RUU BHP ini sejak dari persiapan sudah terbayang, dengan memberikan otonomi maka dari sisi kekuatan dan kedudukan badan hukum maka perguruan tinggi bisa mempunyai legalitas. Misalkan menerima dana, kemandirian, serta tidak lagi terkooptasi oleh bagian-bagian birokrasi. Terlebih, otonomi akademik memang menjadi ciri dari perguruan tinggi.


Dengan adanya RUU BHP ini yang dulu perguruan tinggi merupakan perpanjangan tangan birokrat, yang selama ini tinggal melaksanakan saja, memang ada yang menjadi cemas. Pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat.

RUU BHP ini membuat perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk mandiri secara pedagogik dan akademik, juga mandiri terhadap menerima berbagai dukungan serta bertanggung jawab terhadap yang dilakukan secara hukum.

Pemerintah tak sepenuhnya lepas tangan
Jika dilihat data tahun demi tahun, dukungan pemerintah terutama untuk pendidikan tinggi tidak pernah kurang, selalu naik dari tahun ke tahun baik mengenai perkapitanya, jumlah beasiswa maupun bantuan untuk perguruan tinggi. Persoalannya dengan adanya UU BHP, kita ingin dana yang diberikan ini lebih efektif dan digunakan tepat guna oleh perguruan tinggi tersebut. Itu sebabnya diperlukan satu badan hukum
yang memungkinkan menerima bantuan pemerintah dan mempertanggungjawabkannya secara akuntabel, karena bisa diperiksa oleh akuntan publik atau dewan audit dan sebagainya.
Pemerintah ingin memastikan penggunaan dana masyarakat dan dana pemerintah ini harus dibuktikan dengan publikasi secara transparan, serta menjaga jangan sampai beban masyarakat untuk pendidikan ini bertambah. Pemerintah pun lebih dijamin dengan mengeluarkan dua pertiga pembiayaan pendidikan di BHP dari pemerintah, makin besar skalanya, makin tinggi mutunya, maka makin besar pula dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi tersebut.
Pemerintah juga menanggung dua per tiga dari biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan. Sedangkan, yang ditanggung peserta didik itu hanya sepertiga dari biaya operasional, bukan sepertiga dari seluruh biaya itu. Bahkan beasiswa yang 20 persen untuk mahasiswa kurang mampu itu ditanggung negara sepenuhnya seperti diamanatkan RUU BHP

Baca Selengkapnya.....

Senin, 15 Desember 2008

Laporan Keuangan Partai Politik


Kelalaian partai politik dalam pembuatan laporan keuangan, kewajiban audit, serta pelaporan keuangan ke KPU tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai gejala kelalaian administratif biasa. Setidaknya terdapat dua hal yang dapat menjadi persoalan berkaitan dengan kelalaian ini.

Pertama, hilangnya hak kader partai, pengurus, serta konstituen partai untuk mengetahui kondisi keuangan partai (akuntabilitas internal).
Kedua, hilangnya hak publik secara luas untuk mengetahui dampak penerimaan dan belanja partai terhadap kebijakan publik (akuntabilitas eksternal). Soal kedua sangat erat berkaitan dengan peran partai politik yang selama ini dinilai dominan berpengaruh dalam konteks kebijakan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

Akuntabilitas internal

Laporan keuangan partai politik seharusnya dapat menjadi alat kontrol secara internal terhadap berjalannya organisasi partai. Benarkah otoritas keuangan partai telah mempertanggungjawabkan semua pendapatan partai? Atau ada sumber penghasilan lain yang tidak tercatat atau dibuat kabur?



Partai politik dilarang menerima sumbangan dari beberapa sumber pendanaan, seperti pihak asing, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, yayasan, dan lembaga swadaya masyarakat, menerima sumbangan yang tidak jelas identitasnya atau melebihi batasan, serta mendirikan badan usaha. Partai yang melanggar ketentuan ini dapat diganjar dengan hukuman dari teguran terbuka hingga larangan mengikuti pemilu berikutnya atas perintah pengadilan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Partai Politik).

Konsekuensi yang bakal diterima akibat kelalaian pengurusan keuangan secara internal dapat fatal bagi partai politik. Dengan adanya laporan keuangan, pengurus atau kader partai dapat mengontrol jalannya aliran uang yang masuk dan keluar dari rekening partai politik. Kalau selama ini politikus sering mengeluh dengan besarnya “setoran” ke partai, laporan keuangan dapat menjadi tolak ukur apakah semua setorannya tercatat atau gelap lantaran tidak bisa ditelusuri di dalam laporan keuangan. Jika laporan keuangan partai politik tidak memuat laporan sumbangan dari para politikus secara perorangan, itu sama saja dengan mengatakan perimbangan kenaikan gaji dan tunjangan DPR ataupun DPRD dengan alasan membangun konstituen hanyalah isapan jempol.

Hal lain yang berkaitan dengan akuntabilitas internal partai adalah keterkaitan partai dengan kandidat pada saat pemilu. Kasus Pemilu 2004 menunjukkan bahwa pemisahan antara rekening partai dan rekening dana kampanye belum dipatuhi benar. Hal ini, selain disebabkan oleh kapasitas pengaturan keuangan partai yang masih lemah, karena adanya upaya menggunakan celah dalam aturan pemilu. Meski sudah ada ketentuan pemisahan rekening partai dan rekening kampanye partai ataupun kandidat, tetap saja ada dana dari rekening partai politik masuk ke rekening dana kampanye partai ataupun kandidat dengan jumlah yang sangat besar. Pada Pemilu 2004, misalnya, pasangan Wiranto-Salahuddin menerima Rp 30 miliar dari rekening Partai Golkar dan pasangan Megawati-Hasyim menerima Rp 2,6 miliar dari rekening PDI Perjuangan. Mengalirnya sumbangan dari partai ke kandidat juga dapat terjadi dalam konteks pemilihan kepada daerah. Sumbangan yang sangat besar dari rekening partai tentu sangat mengkhawatirkan. Hal ini dapat menafikan aturan mengenai pembatasan jumlah sumbangan karena siapa pun dapat menyumbang melalui partai politik tanpa mengenal batasan.

Akuntabilitas eksternal

Partai politik memiliki peran yang cukup signifikan dalam dunia perpolitikan kita. Hampir setiap pergeseran posisi kekuasaan, baik di tingkat menteri, kepala dinas di daerah, maupun direktur badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, ditentukan oleh komposisi keterwakilan partai politik. Perimbangan kekuatan mencapai ekuilibrium antara eksekutif dan legislatif juga didasari perimbangan suara partai. Di beberapa daerah bahkan ada politikus yang vulgar menuntut porsi APBD (baca: proyek APBD) berdasarkan komposisi suara partai. Hal ini memunculkan pertanyaan: di manakah posisi keuangan partai politik, baik di pusat maupun di daerah? Apakah ada dana dari perimbangan kekuasaan ini yang masuk ke rekening partai atau hanya cukup dinikmati elite? Mengalirnya dana politik dari proyek-proyek yang dibiayai dana publik dapat menjadi jebakan buat partai politik dalam menerima dana yang dilarang aturan.

Besarnya kemungkinan pelanggaran aturan pendanaan partai politik, baik dari segi penerimaan maupun pembiayaan, menyebabkan proses audit harus dilakukan. Ikatan Akuntan Indonesia telah menyiapkan standar audit khusus bagi partai politik dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan 45 (SAK-45), yang juga digunakan untuk audit keuangan organisasi nirlaba. Dengan adanya standar audit, publik dapat menilai laporan keuangan partai politik dari sisi kepatuhan terhadap aturan ataupun kewajaran dalam mempresentasikan pembukuan dan laporan keuangan partai politik. Auditor independen yang mengaudit juga dapat memberikan opini terhadap laporan keuangan yang ada, apakah sudah dipresentasikan secara wajar, wajar bersyarat, atau buruk sehingga tidak bisa diberi opini (disclaimer).

Sanksi

Prinsip pengaturan yang baik (good governance) harus juga turut didorong di lingkungan internal partai politik. Manajemen serta pertanggungjawaban keuangan secara internal harus dibudayakan dan dibuat terbuka agar menjadi sarana pertanggungjawaban partai terhadap kader, pengurus, dan konstituen partai. Partai juga harus secara berkala setiap tahun memberikan laporan keuangannya kepada KPU setelah diaudit.

Peran KPU sangat menentukan untuk mendorong kepatuhan partai politik dalam hal akuntabilitas keuangan. Terkait dengan kepatuhan memberikan laporan keuangan, KPU memiliki kekuasaan menjatuhkan sanksi administratif kepada partai politik (UU Nomor 10 Tahun 2008). Partai politik yang tidak melaksanakan kewajiban membuat pembukuan dapat dikenai sanksi teguran, dan partai yang tidak memberikan laporan keuangan dapat dikenai sanksi penghentian bantuan dari anggaran negara.

Baca Selengkapnya.....

Selasa, 09 Desember 2008

Capres/Cawapres Alternatif Dewan Integritas Bangsa


Dewan Integritas Bangsa???

DIB dideklarasikan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Pemuda Muhammadiyah, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Pusat Pemuda Katolik, Generasi Muda Buddhis Indonesia, Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Generasi Muda Khonghucu, dan Komunitas Anti Korupsi di Jakarta, Rabu, 7 Agustus 2008 di Museum Kebangkitan Nasional.

Pembentukan dewan ini adalah sebagai bentuk komitmen untuk mencintai Bangsa Indonesia dengan memilih pemimpin masa depan yang memiliki integritas memajukan Indonesia. Dewan akan memilih 45 tokoh dan bapak bangsa yang netral untuk menyeleksi 17 calon menteri untuk posisi Kabinet Indonesia Berintegritas (versi dewan) dan dua orang untuk posisi presiden dan wakil presiden.

Konvensi Capres Alternatif Dewan Integritas Bangsa
Melalui Dewan Integritas Bangsa (DIB), ada sekitar enam politisi menyatakan kesediaan mereka untuk mengikuti konvensi calon presiden alternatif yang diselenggarakan di 12 kota. rencana konvensi akan diadakan pada 19 Januari hingga 7 Maret 2009 di Yogyakarta, Padang, Surabaya, Denpasar, Medan, Banjarmasin, Makassar, Gorontalo, Ambon, Jayapura, Bandung dan Jakarta.

kompetisi politik menuju pemilihan presiden diprediksi akan berjalan seru dan sengit, karena bagi para sosok senior, pada 2009 adalah The Last Game dalam perebutan jabatan presiden. Pertanyaannya, bangsa kita membutuhkan presiden ataukah mencari pemimpin nasional yang kompeten, tangguh dan visioner?

Jawabannya adalah pemimpin sekaligus presiden yang kompeten, tangguh dan visioner. Maka tak salah jika DIB menjaring capres alternatif agar rakyat memiliki opsi lebih banyak lagi.

Para capres alternatif itu adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, Dr Rizal Ramli, Dr Yuddi Chrisnandi, Dr Marwah Daud Ibrahim, Bambang Sulastomo, dan Fadel Muhammad. Sementara Wiranto, Fadjroel Rahman, dan Ryamizard Ryacudu, yang juga diundang DIB, masih ragu-ragu.

Dari enam tokoh yang sudah menyatakan kesediaannya mengikuti konvensi calon presiden alternatif itu, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad adalah satu-satunya yang belum mendeklarasikan diri sebagai capres.


Terhadap langkah DIB ini, banyak mendapat dukungan dari beberapa elemen termasuk juga Partai. Partai yang mendukung konvensi itu antara lain Partai Buruh, Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI).

Konvensi capres versi DIB mengusung enam kandidat capres cukup ternama di negeri ini. Apalagi Indonesia sekarang sangat butuh pemimpin yang sesuai kebutuhan rakyat.

Bagaimanapun proses konvensi yang dilakukan DIB adalah suatu terobosan demokrasi yang tepat dilakukan saat ini untuk mencari calon pemimpin bangsa. Figur yang ada saat ini, terbukti tak mampu menyelesaikan persoalan rakyat secara efektif.

Harapannya, masyarakat bisa terus mengikuti konvensi DIB, sehingga memiliki referensi yang cukup dalam menentukan pilihan secara obyektif.

Konvensi DIB sebagai suatu gerakan inisiatif, sah-sah saja dilakukan dalam kerangka membangun demokrasi di Indonesia. Sebagai sebuah wacana mencari capres terbaik, gerakan inisiatif DIB perlu didukung dan dipahami sebagai langkah masyarakat madani dalam mengupayakan perbaikan kualitas demokrasi.

Baca Selengkapnya.....

Kamis, 04 Desember 2008

Fenomena Pemekaran Daerah

Tingkat akselerasi pemekaran daerah sejak tahun 2000 sampai 2007 dapat diibaratkan sama dengan tingkat percepatan berkembang biaknya bakteri amuba. Hanya bedanya, bakteri amuba bereproduksi untuk melestarikan eksistensi mereka. Sementara pemekaran daerah justru dapat mengancam kelangsungan keberadaan daerah pemekaran baru atau daerah induknya sendiri.

Penyebabnya, amuba berkembang biak secara tertib mengikuti hukum alam, sedangkan pemekaran daerah dilakukan dengan rekayasa para elite politik dan sering kali sarat dengan tarik-menarik kepentingan pribadi dan golongan.

Oleh sebab itu, para pemrakarsa dan pengambil kebijakan pemekaran daerah mungkin harus mencontoh cara bakteri amuba berkembang biak bila pemekaran ingin menjadi upaya peningkatan kehidupan masyarakat, yaitu tidak sekadar mengikuti prosedur dan aturan yang mungkin banyak kelemahannya, tetapi menerapkan dan memaknai aturan sesuai dengan semangat dibentuknya aturan tersebut.


Analogi di atas tidak berlebihan mengingat jumlah daerah yang mekar bila dihitung sejak 2000-2007 telah terjadi pertambahan 173 daerah otonom baru (7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kotamadya) sehingga dewasa ini terdapat 473 daerah otonom. Bahkan, kini telah menunggu di DPR 48 RUU baru pemekaran, termasuk 12 RUU yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR (Kompas, 30/1/2008).

Gelombang pemekaran daerah yang hanya memanfaatkan prosedur aturan yang tidak sempurna disertai kepentingan subyektif para elite daerah maupun di pusat mengakibatkan banyak pemekaran tidak menjamah kepentingan masyarakat. Berbagai studi yang dilakukan masyarakat, pemerintah, khususnya Departemen Dalam Negeri, membuktikan, pemekaran daerah sarat dengan berbagai persoalan sehingga sebagian besar dari daerah pemekaran dianggap gagal. Oleh karena itu, berbagai kalangan masyarakat, pemerintah, termasuk presiden, dan anggota DPR menghendaki agar dilakukan moratorium terhadap proses pemekaran.

Ladang bisnis

Sumber utama kegagalan pemekaran daerah adalah menjadikan pemekaran daerah sering kali hanya sebagai ladang bisnis politik para elite politik dan birokrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur pemekaran daerah, meskipun dianggap kurang sempurna, sebenarnya cukup ketat mengatur pemekaran.

Namun, karena nafsu untuk berkuasa lebih besar dari niat untuk menyejahterakan masyarakat, pemekaran hanya menjadi medan pertarungan kepentingan pribadi dan golongan.

Tidak jarang persyaratan pemekaran, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, dapat lolos berkat deal-deal politik yang sangat oportunistis dan pragmatis. Lebih-lebih pembuatan UU Pemekaran tidak terlalu sulit karena praktis hanya mengubah sedikit konsideran dan diktum dari UU yang telah ada.

Kalau semangat para pengambil kebijakan tidak berubah, meskipun PP No 129/2000 telah diganti dengan PP No 78/2007 yang lebih ketat persyaratannya, hal itu tidak menjamin pemekaran akan bermanfaat bagi masyarakat.

Gagasan moratorium bukan gagasan yang harus ditolak. Namun, penundaan pemekaran tidak hanya dilakukan demi penundaan itu sendiri. Kebijakan tersebut harus bersifat sementara mengingat pemekaran merupakan bagian dari strategi desentralisasi.

Dalam perspektif masyarakat di daerah, satu-satunya cara untuk memperoleh akses pelayanan publik dan akses keuangan hanya melalui pemekaran.

Oleh sebab itu, menunda pemekaran tidak berarti harus mematikan aspirasi daerah, melainkan perlu dilakukan dengan strategi serta niat yang benar, terutama membuat regulasi yang tidak merangsang daerah untuk mekar.

Kebijakan-kebijakan yang harus ditinjau kembali antara lain sebagai berikut. Pertama, kebijakan transfer fiskal (dana alokasi umum, dana bagi hasil, serta dana alokasi khusus), yang justru memberikan alokasi kepada setiap daerah baru. Kedua, tidak adanya kebijakan transisi, seperti kabupaten/kota administratif sebelum menjadi daerah otonomi penuh; bahkan daerah baru selalu harus disertai dengan pembentukan parlemen lokal.

Ketiga, diberlakukannya kebijakan yang sama mengenai jumlah minimal anggota parlemen lokal beserta kedudukan keuangan mereka. Keempat, penambahan unit-unit birokrasi daerah, termasuk eselonisasi yang dibiayai oleh pemerintah pusat.

Kelima, persyaratan jumlah daerah tingkat bawahnya (kabupaten/kota untuk provinsi dan kecamatan untuk kabupaten/kota baru) terlalu sedikit sebagai persyaratan pemekaran daerah baru, dan lain sebaginya.

Oleh sebab itu, dalam menata strategi pemekaran tidak mungkin memproyeksikan secara matematis jumlah daerah otonom yang ideal. Strategi pemekaran daerah harus didasarkan atas beberapa paradigma.

Pertama, pada tingkat kebijakan, pemerintah harus memerhatikan pembangunan daerah tertinggal serta mengembangkan pelayanan umum yang memuaskan masyarakat. Dalam hal ini patut disayangkan departemen sektoral seolah-olah tidak mempunyai tanggung jawab terhadap pemekaran.

Kedua, pada tataran kelembagaan sangat diperlukan peningkatan kapasitas pranata politik lokal, misalnya kaderisasi dan rekrutmen politik, demokratisasi internal partai di tingkat lokal. Ketiga, dalam periode moratorium sebaiknya pemekaran hanya dilakukan jika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ancaman terhadap keamanan nasional dan pertahanan.

Dengan belajar dari berbagai kekurangan dan harapan sebagaimana disebutkan di atas, strategi yang sangat penting bagi pemekaran daerah adalah mengubah paradigma pemekaran sebagai sarana memupuk kekuasaan menjadi sarana mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Baca Selengkapnya.....

Rabu, 03 Desember 2008

Konflik Hukum Suara Terbanyak

Hingga saat ini sedikitnya terdapat 9 partai politik (parpol) yang akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon legislatif (caleg) 2009 nanti. Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP dan PNBK. PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 % BPP namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut sedangkan PNBK menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan (dapil).


Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan mengenyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan Undang-Undang.


Lebih Demokratis
Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya.

Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi yang bagus antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempopulerkan diri dan meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil – seringkali dalam proses ini terjadi politik uang-- padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji ditengah masyarakat.

Melanggar UU
Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan dengan menggunakan nomor urut namun, penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain; pertama;. Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ).
Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.

Kedua; Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.

Ketiga; Dalam sistem suara terbanyak apabila caleg yang meraih suara terbanyak memiliki nomor urut besar maka caleg yang memiliki nomor urut kecil harus sukarela mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dengan konsekuensi kehilangan haknya dalam PAW. Dengan kata lain suara pemilihnya akan terbuang percuma.

Memang, partai masih mempunyai mekanisme Penggantian Alih Waktu (PAW) dengan jalan memecat kader yang membangkang namun, jalan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit. Pada pemilu 2004 yang lalu konflik seperti ini mendera Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebabkan penetapan calon suara terbanyak terkatung-katung. Seperti kasus yang terjadi di Sumatera Barat dimana beberapa caleg yang mendapatkan suara terbanyak tidak dilantik hingga saat ini karena calon yang harus di PAW menduduki posisi ketua atau sekretaris partai. Padahal yang harus menandatangai proses PAW adalah ketua dan sekretaris parpol tersebut dan tentu saja mereka tidak rela di PAW atau paling tidak memperlambat proses PAW hingga batas waktu perebutan kursi berakhir.

Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia.

Baca Selengkapnya.....

Fadel Muhammad: Pamor Golkar Menurun

Deklarasi Sri Sultan Hamengku Buwono X maju dalam bursa pencalonan presiden pada pemilu 2009 mendatang mengundang polemik tersendiri dalam partai Golkar. Sebelum deklarasi Sultan, Fadel Muhammad, salah satu tokoh Partai Golkar telah mengusulkan kepada Jusuf Kalla untuk bersandingan dengan Sultan sebagai wakilnya, namun Kalla ragu-ragu menerima usulannya, apalagi saat ini pamor politik Golkar semakin menurun.

“Ketika Sultan mencapreskan diri, kami juga tetap mendukung untuk mendongkrak popularitas Golkar yang akhir-akhir ini menurun,” kata Fadel, di Yogyakarta, Rabu (19/11)

Menurut dia, seiring dengan perkembangan yang berlangsung, dengan adanya deklarasi Sultan tersebut, partai Golkar menjadi dilematis. Sebab hal tersebut juga merupakan hak Sultan untuk mendeklarasikan diri dan merupakan konsekuensi rapimnas (rapat pimpinan nasional) Golkar 17-19 Oktober lalu, yaitu nama Sultan juga diusulkan menjadi calon presiden.

Ia menambahkan, saat ini Partai Golkar harus berbenah diri sehingga bisa mengoptimalkan perolehan suara dalam pemilu yang akan datang. Hal ini
perlu dilakukan, mengingat dalam survey yang dilakukan oleh Lembaga Survai Indonesia menyatakan popularitas Golkar merosot, yaitu hanya mencapai 16 persen saja, sedangkan popularitas partai Demokrat justru naik.

“Jika dalam survei suara Golkar anjlok ini menunjukkan Golkar tidsk punya kader yang potensial,” kata Fadel menjawab pertanyaan wartawan usai bedah buku “Reinventing Local Government” di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu (19/11).

Fadel menambahkan, hendaknya Golkar sebagai partai terbesar harus mencalonkan kadernya sendiri dalam pemilihan presiden pada 2009 nanti.

Baca Selengkapnya.....

Comments