Selasa, 10 Februari 2009

MENATA PEMISAHAN KEKUASAAN DAN PRINSIP ‘CHECKS AND BALANCES’ (TRIAS POLITICA) SESUAI HUKUM TATA NEGARA


Menurut Jimly Ashiddiqie: prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat tersebut di atas selama ini hanya diwujudkan dalam Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasan yang tidak terbatas. Dari majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut disebut sebagai prinsip pembagian kekuasan (division or distribution of power).
Akan tetapi, dalam undang-undang dasar ini, kedaulatan rakyat itu ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip’checks and balances’. Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
Untuk melengkapi pelaksanan tugas-tugas pengawasan, di samping lembaga legislatif, dibentuk pula Badan Pemeriksa Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden dan wakil presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran kepada presiden dan wakil presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung yang terdiri dari Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Kasasi. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip ‘checks and balances’.
Dengan adanya prinsip ‘checks and balances’ ini, maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditangguangi dengan sebaik-baiknya.
Selain itu, (dalam Pengantar Perubahan Rancangan 02 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonsia, 2001, hal. 21) ketika menguraikan pokok pikiran dalam 17 Bab Undang-Undang Dasar pada huruf D tentang Kekuasaan Legislatif, pada bagian ketiga, Jimly menguraikan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah itu, kedudukannya sederajat dengan Presiden, dan Mahkamah Agung yang juga terdiri dari dua pintu, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Kasasi. Karena itu, dalam Undang-Undang Dasar ini berlaku prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas antara cabang kekuasan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berdasarkan prinsip ‘checks and balances’.
pembahasan perubahan UUD 1945 di bidang politik mencakup 5 (lima) bidang, yaitu:
1. kekuasaan eksekutif: Presiden, Wakil Presiden, Kabinet dan lembaga pemerintah non departemen
2. Kekuasaan legislatif: MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu
3. Kekuasaan yudikatif: Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadian Negeri, Mahkamah Konstitusi
4. pemerintah Daerah
5. Hak Asasi Manusia (Gabungan Hasil Rapat-Rapat Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Ke-I, Sekretariat Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2001, hal. 2)

Kemudian, dalam hasil kesepakatan tim ahli bidang hukum dan politik tanggal 21 Mei 2001, usukan alternatif rumusan yaitu:

UNDANG-UNDANG DASAR: BAB I: BENTUK, (DASAR), DAN KEDAULATAN, BAB II: KEKUASAN LEGISLATIF, BAB III: KEKUASAN EKSEKUTIF, BAB VIIB: PEMILIHAN UMUM, BAB VIII: KEKUASAAN YUDIKATIF, BAB IXA: PENEGAKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, BAB XVI: PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

Penciptaan mekanisme checks and balances di antara semua lembaga negara merupakan tuntutan yang tidak dapat dinafikan, atau merupakan kebutuhan yang sangat fital, guna menciptakan atau membentuk pemerintahan negara yang lebih demokratik, kredibel, serta memiliki tingkat akuntabilitas publik yang tinggi pula. Oleh karena itu harus ada mekanisme checks and balances antara three branches of government, yang dalam hal ini di Indonesia antara DPR dengan Presiden, antara DPR dengan Mahamah Agung, dan antara Prsiden dengan Mahkamah Agung. Catatan: harap diperhatikan DPA dan BPK tidak berada dalam konteks diskusi ini, karena tidak termasuk branches of government. Saya sendiri mengusulkan agar BPK dijadikan lembaganya DPR saja dalam rangka peningkatan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR). Oleh karena itu sebaiknya amandemen yang dilakukan sekarang ini sudah harus memikirkan ke arah perubahan seperti tu. Hal itu dapat dilihat dalam konteks sebagai berikut ini:
1. DPR/MPR (lembaga legislative):
2. PRESIDEN (lembaga eksekutif):
3. MAHKAMAH AGUNG (lembaga judikatif):
Inti dasar dari demokrasi dalam sebuah negara yaitu, pertama, “kompetisi” untuk mengisi jabatan politik dengan pemilihan umum yang fair yang dilakukan secara teratur dalam kurun waktu yang jelas. Kedua, partisipasi warga masyarakat dalam memilih pejabat negara dan membentuk kebijaksnaan publik. Ketiga, adanya kebebasan yang dirasakan oleh seluruh warga masyarakat untuk menjamin integritas kompetisi politik dan partisipasi. Keempat, adanya sistem peradilan yang bebas, serta kelima, terwujudnya sebuah mekanisme keseimbangan di antara “cabang-cabang” pemerintahan dalam suatu negara. Kemudian Afan Gaffar melanjutkan bahwa: Sebuah agenda yang sangat urgen dalam rangka membangun demokrasi Indonesia yang lebih baik dan stabil di masa-masa yang akan datang, yaitu bagaimana menciptakan mekanisme “checks and balances” di antara badan legislatif (DPR/MPR), eksekutif (Presiden dan kabinetnya), dan judikatif (Mahkamah Agung) yang merupakan pilar utama dalam penyelenggaraan negara. Di dalam mekanisme ini kekuasaan masing-masing bidang harus jelas batas-batasnya dan kemudian bagaimana antara satu cabang pemerintahan mengontrol cabang pemerintahan yang lainnya.


Lebih daripada itu, Jimly menjelaskan bahwa: kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia itu diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; Presiden dan Wakil Presiden; dan kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi kegislatif), serta dalam menjalankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol) terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan itu disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui lembaga parlemen dua kamar (bikameral), yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Selain itu, pada bagian lain dari makalahnya, Jimly menyebutkan bahwa: ….Akan tetapi, dalam undang-undang dasar hasil perubahan, prinsip kedaulatan rakyat tersebut ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip ‘checks and balances’. Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan rakyat, tetapi majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Untuk melengkapi pelaksanaan tugas-tugas pengawasan, di samping lembaga legislatif, dibentuk pula Badan Pemeriksa Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran kepada Presiden dan Wakil Presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan Cabang kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kedudukan Mejelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua lembaga perwakilan itu adalah sederajat dengan Presiden dan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip ‘checks and balances’.

Selanjutnya Jimly menguraikan bahwa UUD 1945 dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formil (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan secara meteriel (material separation of power). Namun, sekarang, setelah ditetapkannya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) yang baru dalam Perubahan Kedua UUD 1945, UUD 1945 resmi menganut pemisahan kekuasaan dengan mengembangkan mekanisme hubungan ‘checks and balances’ yang lebih fungsional. Dengan perubahan ini, maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengalami perubahan mendasar. MPR yang terdiri atas dua kamar, yaitu DPR dan DPD, tidak lagi merupakan lembaga tertinggi tetapi menjadi sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden sebagai eksekutif dan Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi .

Selain itu, salah satu dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah karena Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutuf (Presiden). Sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan presiden. Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda tetapi nyatanya berada di satu tangan (presiden) yang menyebabkan tidak bekerjanya prinsip checks and balances dan berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter.

Komposisi hakim konstitusi di MK merupakan perwujudan tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yakni dari 9 (sembilan) anggota hakim konstitusi terdiri dari 3 (tiga) orang yang diajukan oleh DPR, 3 (tiga) orang diajukan oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang diajukan oleh MA.

Badan pekerja MPR juga menjelaskan bahwa: dalam melakukan perubahan konstitusi, salah satu fokus perhatian MPR adalah meletakkan secara lebih tepat dan proporsional fungsi cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu legislatif (DPR) sebagai lembaga pembentuk undang-undang, eksekutif (presiden) sebagai lembaga pelaksana undang-undang, dan yudikatif (MA dan MK) sebagai lembaga yang mengadili pelanggaran undang-undang dan konstitusi. Dengan demikian, dapat diwujudkan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara secara lebih kuat dan tegas
Kesimpulan
UUD 1945 menetapkan adanya kekuasaan kehakiman (yudisial) sebagai salah satu kekuasaan dalam negara hukum di samping ada kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika dilihat dari hasil amandemen UUD 1945 yang lalu, maka dapat disimpulkan adanya penerapan konsep trias politica yang memadai terhadap pilihan sistem pemerintahan negara di Indonesia

Kepala kekuasaan pemerintahan negara dalam konteks ini adalah Presiden tidak hanya sekedar kemudian eksekutif yang dibayangkan oleh Tim Ahli yaitu katakanlah pemisahan kekuasaan yang tegas, teorinya Montesquieu, tapi juga karena kepala Presiden itu juga akan sekaligus nanti punya peran legislatif atau yudikatif.

Komisi independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip checks and balances untuk kepentingan yang lebih besar.



Baca Selengkapnya.....

Minggu, 08 Februari 2009

Sufi itu bernama Mario teguh........


Saya salut dengan pak mario begini ucapannya :

“Saudara-saudara kita sesama muslim masih terlalu asyik dengan dunianya sendiri dan bergaul hanya pada lingkungannya sendiri. Malah yang lebih memprihatikan, dengan sesama muslim kalau ngundang pembicara dia tanya dulu, “Orang itu madzhabnya apa ?.” Dia tidak akan menerima orang yang tidak satu madzhab, satu aliran, dengannya. Padahal dinegara-negara maju sudah menjadi pemandangan yang biasa orang-orang Yahudi mengundang pembicara Islam, Hindu atau Kristiani, atau sebaliknya.
Mereka sudah mantap dengan iman mereka sehingga mereka tidak khawatir dengan pembicara yang datang dari luar komunitas mereka. Mereka sangat yakin, bahwa dengan cara demikian (menghadirkan pembicara “orang luar”), mereka dapat memperkaya wacana dan kehangatan batin. Kita, atau persisnya sebagian umat Islam, lupa bahwa salah satu cara mensyukuri perbedaan ditunjukkan bukan pada lisan akan tetapi dengan mendengarkan pendapat orang lain yang beda keyakinan agamanya.”

n ucapannya yang lain:

“Buat saya, ketika kita betul-betul dengan sadar sesadarnya mengatakan “ya !” terhadap keberadaan dan keesaan Allah (laa ilaaha illallaah; red) kita tak perlu repot-repot lagi memikirkan lebel-lebel formal ketuhanan. Pokoknya terus berlaku jujur, menjaga kerahasiaan klien, menganjurkan yang baik, menghindarkan perilaku, sikap dan pikiran buruk, saya rasa ini semua pilihan orang-orang beriman. Itu alasan pertama.
Alasan kedua, Islam itu agama rahmat untuk semesta alam loch. Berislam itu mbok yang keren abis gitu loch ! Maksudnya jadi orang Islam mbok yang betul-betul memayungi (pemeluk) agama-agama lain. Agama kita itu sebagai agama terakhir dan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya. Agama kita puncak kesempurnaan agama loch. Dan karenanya kita harus tampil sebagai pembawa berita bagi semua. Kita tidak perlu mengunggul-unggulkan agama kita yang memang sudah unggul dihadapan saudara-saudara kita yang tidak seagama dengan kita. Bagaimana Islam bisa dinilai baik kalau kita selaku muslim lalu merendahkan agama (dan pemeluk) agama lain.”

Jadi jangan sok udah berislam “secara baik” tapi ga pernah menghargai perbedaan. Benar kata pak mario Bagaimana Islam bisa dinilai baik kalau kita selaku muslim lalu merendahkan agama (dan pemeluk) agama lain. Ambil contoh kecil kalo kita merendahkan teman kita sendiri tentu saja teman kita otomatis menjauhi kita..


Terakhir beliau berkata :

“Masih banyak orang yang salah faham terhadap Islam. Ada satu pengalaman yang mengherankan sekaligus membuat saya prihatin. Dalam satu seminar di acara coffee break isteri saya didatangi salah seorang peserta penganut agama Kristen yang taat. Masih kepada isteri saya, orang itu memberi komentar bahwa saya menerapkan ajaran Injil dengan baik. Lalu dengan lembut, penuh kehati-hatian, isteri saya memberitahu bahwa saya seorang muslim. Sontak orang itu terperanjat saat mengetahui bahwa saya seorang muslim. Yang membuat isteri saya (dan kemudian juga saya) prihatin adalah ucapannya, “Loch, koq ada ya orang Islam yang baik macam Pak Mario !?” Saya pun terkekeh mendengarnya. Nah ini kritik dan sekaligus menjadi tugas kita semua untuk memperbaiki citra Islam.”

Menurut gue orang-orang seperti pak mario adalah seorang sufi yang patut kita contoh yang ga perlu menjelaskan keislamannya ke semua orang tapi dengan perilakunya sudah menujukkan bahwa beliau adalah muslim sejati…

(sumber kutipan pak mario : www.sufinews.com)

Baca Selengkapnya.....

Comments