Rabu, 04 Maret 2009

Fenomena Birokrasi Indonesia


PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah birokrasi. Yang biasa dikaitkan dengan dengan kantor-kantor, institusi, atau individu yang merepresentasikan pemerintah. Kaitannya dengan pengalaman masyarakat Indonesia terhadap birokrasi, telah membangkitkan citra negatif bagi siapa pun yang telah berurusan dengan birokrasi. Meski sebenarnya kata ‘birokrasi’ adalah terminologi netral mengenai serangkaian urusan yang diselenggarakan di kantor-kantor baik itu institusi swasta, pemerintah, atau organisasi sosial.

Akan tetapi terminologi tersebut saat ini cenderung mengarah kepada ‘birokrasi’ yang diselenggarakan di kantor-kantor pemerintah saja. Sayangnya, pengalaman buruk, kekecewaan dan ketidak puasan yang dialami masyarakat, telah mendistorsi makna birokrasi itu sendiri yang sejauh ini telah dianggap sebagai fakta empiris yang telah mendarah daging, khususnya di birokrasi pemerintahan.

Terminologi Birokrasi


Pembahasan secara serius mengenai konsep birokrasi baru dimulai tahun 1798. Saat itu orang mulai barfikir mengenai adanya satu konsep pelayanan publik yang umum (Albrow, 1970:18-32). Kamus Perancis tahun 1798 mendefinisikan birokrasi sebagai “kekuasaan, pengaruh dari pemimpin dan para staf biro pemerintahan. Kamus Jerman tahun 1813 mendefinisikan birokrasi sebagai “kewenangan atau kekuasaan dimana aneka departemen pemerintahan dan cabang-cabannya merebutnya dari negara bagi diri mereka sendiri”.

Stuart Mills dalam “Principil of Political Economy (1848)” menggambarkan bahwa esensi dari birokrasi adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh kaum profesional. Pemerintah semacan ini menurut Mills, mengumpulka orang-orang yang terdidik, faham akan keterkaitan aktifitas diantara mereka, sehingga birokrasi terlilit oleh aktifitas.

Meskipun dalam perjalanan hidupnya konsep birokrasi lebih banyak mengenyam cercaan dari pada pujian, namun tidak ada yang menyangkal bahwa birokrasi dibentuk untuk mengabdi atau melayani kebutuhan publik. Kebutuhan itu selalu berubah-ubah atau berkembang, sehingga fungsi-fungsi pelayanan publik pun harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dengan tetap menjaga sifat netralitas pelayanannya.
Persoalan yang sangat klasik dalam studi-studi tentang birokrasi adalah apakah bisa birokrasi menjaga netralitasnya? Guy Peters melalui karyanya The Politics of Bureucracy (1984) mengingatkan kita bahwa birokrasi tidak akan pernah terlepas dari pengaruh politik, sebab birokrasi itu sendiri merupakan produk dari proses politik. Artinya sulit untuk memandang birokrasi sebagai satu lembaga netral yang tidak memiliki tujuan-tujuan sendiri, yang bisa saja berbeda dengan kehendak rakyat yang dilayaninya.

Birokrasi di Indonesia

Hingga saat ini, setelah sewindu Bangsa Indonesia meninggalkan periode pemerintahan Orde Baru dan menjalankan reformasi politik maupun pemerintahan, rasanya belum ada perubahan yang signifikan terhadap birokrasi di Indonesia. Praktek-praktek kerja dan perilaku birokrasi di Indonesia masih menunjukkan birokrasi peninggalan periode kepemimpinan Orde Baru. Ini masih sangat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya fakta-fakta lapangan ketika berinteraksi langsung dengan birokrasi pemerintahan. Masih saja birokrasi kita bekerja berdasarkan struktur hirarkhis dan bersifat sentralistik. Ini menyebabkan dampak yang negatif terhadap birokrasi pemerintahan, karena tidak sensitive terhadap aspirasi masyarakat. Budaya “ABS” Asal Bapak Senang berkembang menjadi hal yang lumrah, karena keselamatan dan prospek jabatan ada di tangan atasan. Inilah yang memunculkan budaya materialisme serta hedonisme yang berujung pada tersingkirnya standard moral birokrasi itu sendiri.

Budaya tersebut membuat birokrasi tidak populer terutama di mata masyarakat yang selalu membutuhkan bahkan tidak bisa lepas dari bantuan dan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, karena pemerintah dengan aparat birokrasinya ada untuk melayani kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. Inilah yang telah membangun citra negatif birokrasi di mata masyarakat, yang berujung pada traumatis dan ketidak percayaan terhadap birokrasi di Indonesia. Situasi seperti ini akan berimbas pada terhambatnya pelaksanaan program-program kerja pembangunan, penyejahteraan dan efektifitas hubungan masyarakat-birokrasi dalam persaingannya dengan birokrasi swasta. Inilah yang menjadi kerikil tajam dalam upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia, di mana budaya demokrasi telah menjadi budaya politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sudah jelas, budaya birokrasi Indonesia sama sekali tidak mencerminkan budaya demokrasi, maka demokratisasi di Indonesia akan mengalami kemandekan.

Politisasi Birokrasi


Telah menjadi salah satu fokus kajian dalam upaya mencari format terbaik dalam mengupayakan demokratisasi di Indonesia, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (PILKADA) yang merupakan salah satu upaya pencapaian konsep desentralisasi di mana masyarakat diharapkan partisipasinya dalam menentukan pemimpin daerahnya, yang kemudian mendekatkan masyarakat kepada calon pemimpinnya. Yang bisa berupa kedekatan emosional, kedekatan atas dasar suku, profesi bahkan agama, ataupun kedekatan yang dibangun atas dasar pilihan-pilihan rasional masyarakat. Pada saat yang bersamaan, masyarakat dapat menentukan siapa yang akan mereka pilih pada saat PILKADA nanti.

Ketika yang dimaksud masyarakat di atas adalah orang-orang yang menempati posisi di birokrasi pemerintahan, dan juga calon pemimpin adalah individu yang berada di tingkatan elite birokrasi pemerintah, ini akan menjadi masalah baru dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Kesatuan visi dan misi yang sebelumnya dimiliki oleh birokrasi, menjadi terganggu oleh otmosfer politik yang begitu banyak bermain pada wilayah kepentingan individu maupun golongan.

Sebagai contoh, di suatu daerah terdapat beberapa kandidat calon Gubernur yang diantaranya adalah Gubernur dan Wakil Gubernur yang sedang aktif menjabat. Fenomena ini otomatis akan mempengaruhi hubungan antara Gubernur dan Wakilnya, yang kemudian berimbas pada struktur di bawahnya. Dalam keadaan seperti ini, birokrasi daerah bisa disebut sedang mengalami ‘dilema’. Birokrasi menjadi terkotak-kotakkan menurut afiliasi kandidat (Gubernur maupun Wakil Gubernur). Dengan demikian birokrasi tidak lagi menjadi netral sebagai mana konsep awalnya. Banyak kegiatan yang dilakukan aparat birokrasi dalam hal ini program kerja, disalah gunakan oleh kandidat sebagai media kampanye terselubung. Ini bisa terlihat ketika elite birokrasi yang menjadi kandidat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten, Desa maupun Daerah lainnya dan mempergunakan kesempatan tersebut untuk berkampanye.

Inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran atas kinerja birokrasi di Daerah. Lagi-lagi masyarakat menjadi korban atas perilaku para aparat birokrasi. Pelayanan yang di lakukan banyak mengandung embel-embel politis karena sudah tidak adanya nilai-nilai netralitas di tubuh birokrasi. Ini seharusnya tidak patut terjadi, bila saja birokrasi kita memiliki moralitas dan profesionalitas yang selalu tercermin dalam perilaku dan kerja birokrasi. Dan untuk seorang kandidat yang sedang menjabat sebagai elite birokrasi dapat menempatkan diri kapan Ia sebagai seorang pelayan publik dan kapan Ia sebagai individu yang notabene kandidat pemimpin daerah mendatang. Sehingga desentralisasi dalam upaya efektifitas kerja birokrasi dapat terwujud dengan baik. Birokrasi daerah menjadi lebih sensitif terhadap tuntutan masyarakat, dengan diberdayakannya ‘local genius’ dan pengambilan keputusan yang tidak terlalu panjang prosesnya.


Penutup


Dengan demikian satu-satunya instrumen yang menjamin netralitas birokrasi adalah kepatuhan pejabat negara yang berasal dari parpol terhadap undang-undang pemilu, kampanye para pejabat, dan ketentuan kampanye serta kepekaan dalam menimbang kepatutan keputusan dan tindakan menurut moralitas yang dianut meski belum diformulasikan ke dalam undang-undang. Toleran terhadap pilihan individual karyawan adalah sikap politik para pejabat negara yang dibutuhkan dalam mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan fair.

Birokrasi seperti itulah yang kita harapkan. Birokrasi yang menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Birokrasi yang mampu bersaing dan tanggap terhadap tuntutan atas perkembangan zaman. Sehingga demokratisasi tidak lagi tersumbat dan hanya menjadi angan-angan utopis, melainkan domokratisasi menjadi harapan dan angin segar bagi tercapainya masyarakat adil sejahtera.

Daftar Pustaka

Albrow, Martin. Terj, Birokrasi, Yogyakarta, PT Tiara Wacana, 1996.
Guy Benveniste, Birokrasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Moeljarto Tjokrowinoto, dkk. Birokrasi Dalam Polemik, Malang, Pustaka Pelajar, 2001.
Wacana. PILKADAL, Yogyakarta, Insist Press, 2005.
Wibowo, Edi. Ilmu Politik Kontemporer, Yogyakarta, YPAPI, 2004.





Comments